Oleh : Yusnadi
Arung Jeram.
Arung Jeram adalah salah
satu kegiatan olah raga dengan resiko
tinggi. Beberapa bulan yang lalu secara tidak sengaja saya diajak oleh seorang
teman untuk mencoba berarung jeram di daerah Cipetir, Sukabumi. Olah raga ini sarat dengan standar dan
prosedur yang harus ditaati oleh semua peserta demi keselamatan dan kenyamanan
bersama. Sebelum pelaksanaan dimulai semua peserta di-briefing dengan seksama
tentang apa itu arung jeram, rute arung jeram dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja
terjadi dalam berarung jeram.
Hal yang sangat menakutkan
bagi peserta adalah timbulnya banjir bandang. Yaitu suatu banjir, di tempat
kita tidak hujan tetapi kita mendapatkan limpahan sebagai banjir kiriman. Dan
ini sering terjadi dari arus sungai Bogor ke sungai di Sukabumi. Sekalipun rasa
takut cukup besar dihati tetapi naluri ingin tahu juga sangat besar
mendorong untuk mencobanya. Pukul 10 tepat, tim kami yang terdiri dari 7 orang
(6 peserta dan 1 sebagai skipper)
sudah berpakaian lengkap. Saya mengambil posisi di tengah dengan harapan di
tempat ini resiko paling kecil. Di depan ngeri, dengan bayangan dialah orang
pertama jika menabrak bebatuan. Sementara di belakang adalah kaptennya (skipper) yang mangatur semua awak yang
diwajibkan mematuhi segala perintahnya. Jika semua perintah sang kapten
dilaksanakan maka semua akan selamat sampai tujuan. Jarak tempuh yang kami
ambil adalah yang terpanjang dengan memakan waktu sekitar 3 jam.
Usai berdoa saya naik perahu karet, hati belum merasa
tenang sekalipun saya coba untuk tetap terlihat ceria. Dalam 30 menit pertama
perjalanan masih tenang, segala rintangan masih terasa ringan Memasuki jam kedua, dada mulai berdebar kencang rintangan batu-batu besar dan turunan-turunan
air curam mulai menghadang. Arus cukup kencang, rintangan bebatuan menghadang
dan dayung yang kami pakai seolah tidak berfungsi untuk mengendalikan arah
perahu. Sang kapten berteriak mengomando
untuk mendayung lebih kuat, lebih kuat atau menahannya untuk belok ke kiri.
Dengan gaya meyakinkan semua peserta bersatu
mengatasi segala rintangan. Semua perintah sang kapten tanpa perlu
diperdebatkan lagi kami laksanakan dengan
sigap, tanggap dan cekatan. Ia
berteriak membentak, membentak dan terus membentak sepanjang jalan yang
beresiko tinggi. Kami tanpa sakit hati sekalipun terus dimarahi terutama
saat-saat menghadapi resiko tinggi. Kami semua merasa bukan tunduk pada sang
kapten tetapi kami semua taat pada
aturan standar keselamatan perjalanan. Semua instruksi sang kapten dapat
dilaksanakan dengan baik, segala marabahaya dapat dihindari dengan baik,
sekalipun badan terasa dibanting-banting, kuping terasa bengkak tetapi hati
tetap senang.
Apa
yang dapat dipetik dari sini?
Hiking Story
Sebelum hal itu dijawab, saya
punya cerita lain dari seorang teman tentang
kawannya. Teman saya bercerita tentang kawannya yang pergi hiking ke Gunung di Jawa Tengah dengan 5
orang temannya. Di tengah puncak gunung mereka memasuki suatu gua tua untuk
beristirahat. Namun tak lama mereka beristirahat di sana terjadi tanah longsor
yang menutupi pintu gua. Mereka berlima berusaha untuk ke luar dari gua itu
dengan cara menggali pintu gua dengan peralatan seadanya yang mereka bawa.
Selang lima jam setelah bekerja keras, terbukalah sedikit celah yang hanya bisa
dimasuki oleh satu orang saja. Kawan teman saya mempersilahkan temannya untuk
ke luar telebih dahulu, sementara teman saya yang satu ini pun mempersilahkan
kawannya untuk ke luar terlebih dahulu. Satu sama lainnya masing-masing mempersilahkan
untuk ke luar terlebih dahulu hingga waktu dua, tiga hari terlewati. Satu
minggu terlewati, satu bulan terlewati hingga akhirnya mencapai 1 tahun lebih dan ditemukan oleh Tim SAR
dalam keadaan sudah membusuk dengan posisi saling tunjuk menunjuk.
Apa
yang dapat dipetik dari cerita di atas?
Hikmah
Dalam kasus arung jeram
hampir sama dengan kisah perjalanan suatu perusahaan. Di depannya banyak sekali
rintangan. Segala resiko akan terus menghadang di depannya. Yang diperlukan
oleh perusahaan adalah adanya sistem, aturan, prosedur dan standar keselamatan
dalam mencapai tujuan yang harus ditaati
oleh semua karyawan/ti-nya. Dilarang keras mengambil inisiatif sendiri dengan
cara mendayung duluan atau berhenti
mendayung tanpa diperintah.
Dalam kegiatan arung jeram
yang diperlukan adalah kerja sama yang tangguh dalam melewati setiap jeram yang
memang sulit untuk diprediksi sebelumnya. Irama dayung harus mengikuti awak
yang berada paling depan, sedangkan kapten berada di belakang sebagai pengemudi
dan pemberi perintah. Sang kapten harus menguasai medan, paham aturan sedangkan
para awak harus taat pada sang kapten dan berpegang teguh pada aturan, prosedur
dan sistem. Taat pada kapten adalah salah satu standar keselamatan dalam
perjalanan.
Sedangkan kisah dari teman
saya tentang kawan temannya dipendakian gunung yang menonjol adalah budaya ewuh pakewuh (sungkan). Budaya ewuh pakewuh dalam batas-batas normal akan meningkatkan
kualitas hubungan seseorang dengan yang lainnya. Emosi (perasaan) pribadi lebih
menonjol, tanpa didasari sedikitpun niat untuk menjatuhkan atau mempermalukan
orang lain. Namun jika porsinya berlebihan maka budaya ewuh pakewuh akan melemahkan tegaknya aturan dan sistem yang
berlaku.
Ketika ewuh pakewuh dirasa sangat berlebihan maka akan memicu seseorang
untuk “Yes Man” atau Asal Bapak
Senang (ABS). Di depan berkata “iya”
tetapi di belakang gondoknya setengah mati. Padahal tidak ada manusia yang
sempurna di dunia ini. Semua manusia perlu dikoreksi, diingatkan, disarankan
untuk memilih yang terbaik. Dimarahi atau memarahi adalah bagian dari arah
untuk mencapai tujuan. Tidak perlu sakit hati selama itu masih dalam koridor
aturan suatu sistem.
Sistem dalam arung jeram dengan budaya ewuh pakewuh ternyata jauh berlawanan.
Dalam arung jeram ketegasan dalam perintah ada; jelas, tegas, spontan. “Marah”
ya “marah”, “maki” ya “maki” tetapi tidak ada yang merasa sakit hati, karena
semua paham akan resiko dan tahu aturan untuk selamat dari bahaya yang
menghadang. Sedangkan dalam budaya ewuh
pakewuh, perasaan diri, menahan
diri, diam diri untuk tidak berbuat lebih kuat. Bahkan “rela mati” hanya karena
ada rasa sungkan untuk menyampaikan sesuatu, takut perasaan orang lain
tersinggung.
Asertif
Alternatif dari sistem arung
jeram dan budaya ewuh pakewuh mungkin
yang tepat adalah teori asertif. Perilaku asertif
ditandai dengan dua cara. Pertama
mempertahankan hak sendiri dengan cara yang tidak mengorbankan hak orang lain. Kedua mengekspresikan kebutuhan,
keinginan, pendapat, perasaan dan keyakinan dengan cara langsung, terus terang
tetapi tetap sopan.
Asertif mengandung
pengertian; mengatakan, bertindak, berbuat dan mengekspresikan diri sesuai dengan hati nurani dan benar apa adanya tetapi dilakukan
dengan cara yang sopan. Hanya ada dua kutub untuk teori asertif ini: black
(hitam) atau white (putih) bukan gray (abu-abu). Orang yang bertingkah
laku asertif memiliki keberanian yang
sungguh-sungguh untuk mengatakan kebenaran yang ada sekalipun ia siap untuk
tidak disenangi orang lain. Ia berani mengatakan apa yang benar kepada orang
lain (sekalipun mungkin tidak mengenakan hati orang tersebut) tanpa perlu
merasa berhutang budi atas perbuatan orang lain.
Orang asertif menggunakan cara
yang sopan dalam penyampaian pendapat sekalipun pendapatnya tersebut sudah
pasti benar. Tidak “ceplas-ceplos” dan
tidak “blak-blakan” seperti dalam sistem arung jeram yang terkesan tanpa
etika komunikasi. Tetapi tidak juga ewuh
pukawuh (sungkan), menahan diri, berdiam diri seakan tidak perduli dengan
lingkungannya.
Ketika setiap individu
bersedia mengembangkan tingkah laku asertif,
maka banyak keputusan yang dapat segera diambil dan dilaksanakan. Iklim
yang dibangun pun akan tampak transparan
dan terbuka. Di dalam lingkungan perusahaan yang mengembangkan tingkah laku asertif akan mampu menghantarkan
organisasinya ke arah yang dicita-citakan. (YS).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar