Oleh : Andang Andiwilapa
Tulisan singkat ini diharap dapat membuka wawasan kita mengenai
hukum ketenagakerjaan (d/h Hukum Perburuhan). Apabila kita mempelajari Hukum
Ketenagakerjaan seyogyanya juga harus
mempelajari filosofi yang terkandung didalamnya. Hukum Ketenagakerjaan tidak
dapat hanya dipahami secara partial tetapi harus dipahami secara
holistik untuk mendapat pengertian yang lebih komprehensif.
Sejarah Hukum Ketenagakerjaan
Hukum Ketenagakerjaan di Indonesia bukanlah suatu produk hukum
yang lahir pada saat ini, tetapi
mempunyai riwayat yang begitu panjang, telah melampaui beberapa masa
atau zaman, dan di masing-masing zaman-nya Hukum ketenagakerjaan mempunyai
dinamikanya masing-masing seturut dengan kondisi saat ini.
Pada Masa Perbudakan
Pada masa ini budak tidak mempunyai hak apapun, bahkan hak atas
hidupnya juga tidak. Yang mereka miliki hanya kewajiban semata, kewajiban
melakukan pekerjaan, melaksanakan
perintah dan menuruti semua petunjuk dan aturan dari pemilik budak.
Pada Masa Pekerjaan Rodi
Pada awalnya merupakan kerja gotong-royong untuk kepentingan
bersama suku/desa, atau kerajaan, karena berbagai keadaan dan alasan berkembang
menjadi kerja paksa untuk pihak lain
atau kepentingan seseorang tanpa menerima bayaran (upah).
Kerja rodi khususnya di Jawa, dilakukan untuk kepentingan
raja-raja dan atau keluarganya. Kerja rodi untuk kepentingan Kompeni atau
Gubernemen pada masa penjajahan digunakan untuk pembangunan pabrik-pabrik,
jalan, untuk pengangkutan barang dan sebagainya. Hendrik Willem Daendels
(1807-1811) tersohor karena kerja paksanya dengan pembangunan jalan Anyer –
Panarukan (Banyuwangi).
Pada Masa Punale Sanksi
Pada masa
ini sebetulnya sudah merupakan hubungan perburuhan yang lebih manusiawi
dibandingkan pada masa-masa sebelumnya, yaitu pekerjaan yang dilakukan oleh
buruh dibawah pimpinan majikan dengan menerima upah. Peraturan mengenai
perburuhan ini pertama dikeluarkan 1819, yang mengharuskan semua perjanjian
kerja didaftar oleh Residen, sebelumnya didaftar Residen harus menyelidiki
apakah pada waktu perjanjian kerja dibuat, tidak dilakukan paksaan dan apakah
syarat-syarat kerjanya cukup layak.
Peraturan 1819 tersebut tahun 1838 ditarik diganti dengan yang
baru, guna mempermudah Gubernemen (Pemerintahan Hindia Belanda saat itu)
mendapatkan buruh untuk kepentingan perkebunan. Tahun 1863 dengan dihapuskannya
Cultuurstelsel, peraturan yang baru 1838 tersebut dihapus. (Cultuurstelsel
= cara gubernemen dahulu memperbesar hasil perkebunan untuk ekspor dengan
jalan memaksa setiap pemilik tanah untuk menanam tanaman tertentu dan menjual
hasilnya kepada gubernemen dengan harga yang ditentukan gubernemen pula).
Tahun 1870 dengan dikeluarkannya “ Agrarissche Wet “ (UU Agraria),
maka mendorong tumbuhnya perkebunan swasta besar, untuk terjaminnya buruh yang
tetap maka dalam “ Algeme Politie Strafreglement “ (Stbl. 1872 No. 111)
ditambah ketentuan yang menetapkan bahwa buruh yang tiada dengan alasan yang
dapat diterima, meninggalkan atau menolak melakukan pekerjaannya, dapat
dipidana dengan denda antara Rp. 16,- dan Rp. 25,- atau dengan kerja paksa
selama 7 sampai 12 hari. ( Catatan : denda dalam rupiah
tersebut adalah setelah dikonversi dari mata uang Gulden ± pada tehun
1970-an, silahkan dikonversi dengan nilai uang sekarang, upah kerja untuk
buruh bekerja selama 1 atau 2 minggu itu berapa?). Adanya denda
inilah yang disebut dengan Punale Sanksi (poenale sanctie =
sangsi pidana pada hubungan perdata).
Sumber Hukum Ketenagakerjaan
Pada masa kini setelah melampaui masa-masa yang penuh dinamikanya
mengikuti perkembangan sejarah kebangsaan Indonesia ketenagakerjaan diatur
secara khusus dalam ketentuan tersendiri dengan melepaskan dari Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata) walaupun tidak secara penuh. Sehubungan ada beberapa hal atau
beberapa azas hukum yang tidak dapat ditinggalkan. Dengan diaturnya
ketentuan-ketentuan Hukum Ketenagakerjaan diharapkan tercipta suatu kepastian
hukum, walaupun belum terkodifikasi seluruhnya. Dimana apabila kita mempelajari
Hukum Ketenagakerjaan maka sesungguhnya sumber hukum ketenagakerjaan ini
bersumber dari banyak peraturan yaitu segala ketentuan yang memuat
ketentuan-ketentuan atau aturan-aturan mengenai ketenagakerjaan. Ketentuan
tersebut antara lain :
Undang-undang, adalah peraturan yang
ditetapkan Presiden dengan persetujuan bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Selain
UU ada peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) yang mempunyai
kedudukan sama dengan undang-undang. Sebagaimana undang-undang yang lain
mempunyai sifat mengikat/memaksa, mengatur dan mempunyai sanksi yang dapat dijatuhkan bagi siapapun yang
melanggar. Dalam pelaksanaanya UU memerlukan peraturan-peraturan teknis
(petunjuk pelaksanaan) untuk menjalankan ketentuan dalam perundang-undangan
tersebut, apabila peraturan teknis (petunjuk pelaksanaan) belum ada maka untuk
menjembatani kekosongan hukum itu, dalam UU dicantumkan Ketentuan Peralihan,
yang mengatur bahwa segala peraturan masih berlaku, selama belum ada peraturan
(baru) yang menggantikanya. Saat ini undang-undang ketenagakerjaan adalah UU
No. 13 Tahun 2003 yang diundangkan tanggal 25 maret 2003 dicantumkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2003 nomor 39 dan Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2003 Nomor 4279.
Peraturan Lain yaitu :
Peraturan Pemerintah, Keputusan Presiden, Intruksi Presiden Peraturan Menteri,
Intruksi Menteri, SKB (Surat Keputusan Bersama) atau Keputusan Instansi Lain,
dan lain-lainnya.
Kebiasaan, yang dimaksudkan adalah memberikan tafsiran
atau interpretasi yang disesuaikan dengan semangat undang-undang, hal ini
sehubungan perkembangan pembentukan peraturan ketenagakerjaan yang tidak
secepat perkembangan soal-soal ketenagakerjaan yang harus diatur. Panitia
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan dalam pembentukan hukum kebiasaan ini
telah banyak memberikan jasanya.
Putusan, yang dimaksudkan adalah putusan pengadilan,
di mana putusan ini dapat dikatakan sebagai hukum itu sendiri dan atau putusan
Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan yang bersifat mengikat, sering
kali memuat aturan-aturan yang ditetapkan atas kuasa dan tanggung jawabnya
sendiri (zelfstandig).
Traktat, yaitu suatu perjanjian antar Negara atau
dengan beberapa Negara mengenai ketenagakerjaan yang belum pernah diadakan. (perhatikan
: AKAN = Antar Kerja Antar Negara)
Perjanjian Kerja, pada
umumnya hanya berlaku antara tenaga kerja dan pemberi kerja, pihak lain tidak
terikat, selain perjanjian kerja, ada suatu perjanjian yang mencakup banyaknya
tenaga kerja yang terikat oleh perjanjian tersebut, di mana perjanjian itu
dilakukan antara wakil tenaga kerja dan pengusaha, atau lazim disebut dengan
Perjanjian Perburuhan – sekarang disebut dengan Perjanjian Kerja bersama _(Ref.
BAB I Ketentuan Umum Pasal 1 ayat 21 Juncto Bagian Ketujuh UU No. 13 Tahun
2003).
Hubungan Kerja
Hubungan kerja tercipta karena adanya perjanjian kerja, dimana
perjanjian tersebut pada prinsipnya adalah merupakan hubungan perdata (Ref.
1320 & 1338 BW), akan tetapi mengenai masalah ketenagakerjaan di perlukan
campur tangan negara untuk mengaturnya, hal ini diperlukan untuk perlindungan
dan menghindari penyimpangan-penyimpangan yang merugikan kedua belah pihak,
baik pihak tenaga kerja maupun pihak pengusaha. Sehingga hukum ketenagakerjaan
sifatnya bukan lagi privaatrechtelijk, melainkan publiekrechtelijk.
Khusus dalam hubungan kerja kita dapat melihat perjanjian yang
sekarang lazim ada antara pekerja dan pemberi kerja, yaitu:1. Perjanjian
Kerja, perjanjian kerja ini bersifat perdata yaitu terbatas hanya antara pemberi
kerja dan penerima kerja, dapat dibuat secara lisan maupun tertulis. 2.
Peraturan Perusahaan, peraturan ini dibuat oleh pihak pengusaha, tanpa
melibatkan tenaga kerja, pengusaha dapat memasukkan segala dalam peraturan
perusahaan ini dengan ketentuan tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum
maupun kesusilaan.3. Perjanjian Kerja Bersama (PKB), merupakan
perjanjian ketenagakerjaan yang berisi norma-nrma kerja/ peraturan-peraturan
kerja antara tenaga kerja ( yang diwakili oleh Serikat Pekerja/ Serika Buruh )
dengan pengusaha, di mana isi PKB tidak diperbolehkan betentangan dengan
undang-undang atau peraturan lain yang dikeluarkan oleh negara/pemerintah.
Kembali sebagaimana dalam pengantar bahwa ketika kita memahami
hukum ketenagakerjaan maka kita harus memahami filosofi dan azas hukum yang
terkandung di dalamnya, memahami tidak hanya melihat ketentuan/peraturan hanya
dari sisi ketentuan /peraturan tersebut, tetapi harus juga melihat
ketentuan/peraturan maupun referensi-referensi lainnya, serta semangat yang
terkandung di dalamnya sebagai suatu tujuan sesungguhnya. Ketentuan
ketenagakerjaan haruslah dipahami secara holistik dan tidak secara partial.
Semoga tulisan ini ada manfaatnya.
(Daftar pustaka: Pengantar Hukum Perburuhan, Prof. Iman
Soepomo,S.H. dan UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar