Oleh: Sapto Winardi
Pengalaman ini membekas di
hati. Pengalaman dari sebuah “pengajian biasa” dengan ustadz yang belum setenar
Ustadz Jefri Al Buchory ataupun AA Gym. Adalah Ustadz Muzaiyin, seorang
pimpinan pondok pesantren dari Wonocolo,
Surabaya. Namun
seperti kata orang bijak, bukan hanya siapa penyanyinya tetapi dengarkan
lagunya dan bagaimana suara indah dapat melantunkan lagu. Pengalaman rohani ini tentang falsafah buah
pisang yang sering disantap namun jarang kita perhatikan.
Hanya sedikit orang yang
tidak suka buah yang satu ini. Buah pisang yang kaya vitamin dan banyak jenisnya. Buah yang oleh Sang
Ustadz dikatakan memiliki banyak keutamaan. Keutamaan itu bukan hanya secara
fisik, namun lebih jauh secara filosofis. Sang Ustadz mengungkapkan beragam
keutamaan itu tanpa keraguan sedikitpun. Bukan hanya karena ia mengutip kitab
Al Hikmah dan berbagai kitab lain, namun dengan kedalaman ilmu ma’rifat yang
dimilikinya, karena sesungguhnya ungkapan falsafah pisang termaktub dengan
gamblang di Al Qur’an Surat Al Waqi’ah dari ayat 29 hingga ayat 33. Hingga sang ustadz mengajak kita untuk belajar dari
buah pisang.
Buah pisang memiliki nama
latin: Musa Paradisiaka ada kemiripan
dengan paradise yang dalam bahasa
Inggris berarti surga. Buah pisang tampaknya
punya kaitan “kedekatan” dengan surga, hingga dalam Kitab suci yang
menggambarkan keindahan surga sebagai balasan atas apa yang mereka lakukan
selama di dunia, tertulis kisah tentang buah pisang di surga. Mengapa kita tidak belajar dari pisang?
Pisang adalah buah
istimewa. Rasanya yang khas dan daging buahnya yang empuk menjadi spesial alias
istimewa karena belum pernah ada ulat
dalam daging buah pisang. Bandingkanlah
dengan buah durian, misalnya, dalam daging buahnya masih sering ditemui
ulat yang mengotori buah. Jika
diibaratkan buah adalah sebagai hasil akhir dari sebuah proses, maka yakinlah
kita bahwa awal dari proses itu pastilah bersih hingga tak ada ulat yang
sanggup “menggerogoti” buah. Pastilah buah pisang berasal dari intisari yang
baik. Kita perhatikan bahwa ruas terdalam dari batang pisang (batang pisang,
biasa juga disebut gedebog pisang).
Bagian terdalam gedebog pisang itu
dalam istilah Jawa disebut ares dan
pasti berwarna putih mulus dan terlindungi oleh berlapis-lapis pelepah batang
yang melindungi kesucian ares batang
pisang. Ingatlah hadits Nabi bahwa ada satu bagian kecil dari tubuh kita yang
bila kotor maka akan kotorlah kita, namun jika bersijh maka akan bersihlah
tubuh kita, itulah hati atau qolbu. Dari
hati yang bersih akan terjadi proses yang bersiha dan akan keluar produk yang
terjaga kebersihannya.
Lalu simaklah bakal buah
pisang, atau yang sering disebut jantung pisang. Secara alamiah ia akan tumbuh
menuju ke tanah, ia akan merunduk mengarah ke tanah, tidak menengadah menantang
langit. Ia tidak menyombongkan diri, ia tunduk pada hakikatnya meskipun ia
menghasilkan buah yang bersih yang kelak akan menghiasi taman di surga. Begitulah
makhluk ciptaan Tuhan di bumi ini, tunduk dan patuh pada perintah-Nya, tetap tawadhu’ karena tak ada yang pantas
untuk “mendangak” atas kekuasaan Tuhan sang pencipta. Karena
tunduk ia harus patuh dan bertaqwa pada Sang Pencipta. Dengan tunduk pada Tuhan, kita hendaklah
patuh dan taat pada perintah-Nya dan jika patuh pada-Nya pasti akan terjaga
oleh-Nya. Seperti juga “kualitas” buah pisang yang terjaga karena selalu tunduk
sejak menjadi bakal buah, kita pun dapat terjaga; mulut kita, mata kita, tangan
kita, badan kita dan hati kita, akan selalu terjaga karena Dia akan menjaga
kita sepajang kita tunduk dan bertaqwa pada-Nya.
Ketika buah meranum,
pisang selalu berjajar rapi dengan susunan yang teratur se-sisir demi
se-sisir. Keteraturan susunan buah
menjadikannya kuat sebagai sebuah kesatuan. Tak hanya indah dipandang namun
makna kesatuan yang terkandung didalamnya
menyimbolkan kekuatan. Sungguh istimewa menyimak ketaqwaan tergalang
dalam persatuan yang tertata dengan baik.
Kemudian perhatikanlah
daun pisang. Daunnya melebar dalam satu pelepah daun. Sanggup meneduhkan buah
dari panasnya matahari dan mengayomi ketika hujan turun. Bukan hanya sang buah, manusia pun telah
memanfaatkan daun pisang sebagai payung ketika hujan jauh hari sebelum paying
ditemukan. Multifungsi daun bukan hanya saat hujan, para penjual tempe telah
memanfatkannya sejak dulu sebelum plastik menjadi pembungkus alternatif.
Daun yang berposisi di
atas berfungsi melindungi buah yang ada di bawahnya. Begitulah hendaknya yang
berposisi di atas, “dituntut” untuk mengayomi atau melindungi yang dibawahnya.
Sang ayah melindungi anaknya, sang pimpinan mengayomi bawahannya. Bahkan
sedapat mungkin perusahaan mampu mengayomi dan melindungi para stake holder-nya, baik itu karyawan,
rekanan dan para pemegang saham, juga para plasma.
Dan perhatikanlah, pada
ruas tengah pelepah daun pisang, terdapat bagian yang keras yang didesain oleh-Nya sebagai “tulang” daun
sekaligus sebagai ”talang” air ketika hujan turun. Air hujan adalah air yang bersih sebagai
berkah Allah yang turun dari langit, diterimanya dengan suka cita kemudian
disalurkannya menyirami batang sebagai induk pertumbuhan yang didalamnya
terdapat ares batang. Begitulah ia qona’ah menerima pemberian Allah yang
sesungguhnya adalah berkah untuk menyirami hati dengan sesuatu yang bersih.
Pisang selalu berupaya
memberikan manfaat bagi makhluk lain, ia meranum setiap saat, tak terhentikan
oleh musim. Ada
fungsi sosial disini, bahwa ia selau berupaya untuk meberikan yang terbaik
meski musim kemarau sekalipun. Di saat kemarau, keistimewaan pisang sebagai satu ciptaan-Nya kita lihat pula
ketika ia tak lagi tumbuh. Pelepah daun serta batang yang telah kering sangat
disukai ayam dan bebek ketika mengering. Meski kering berwarna coklat bagian
tersebut masih mengandung air yang diperlukan
makhluk lainnya ketika kemarau. Betapa pisang “mengajarkan” untuk menjadi
dermawan, menjadi penyantun bagi mahkluk lain, tetap memberi sesuatu untuk
dimanfaatkan demi kemaslahatan makhluk lain.
Manfaat lainnya adalah ketika batang pisang ditebang dan gedebog-nya dipilih untuk dijadikan
landasan menancapkan wayang saat dalang mementaskan cerita. Jika wayang yang
dipentaskan sang dalang adalah gambaran kehidupan, gedebog pisang menjadi landasan
yang kuat bagi gambaran kehidupan itu. Struktur batangnya kuat, sehingga
wayang tak mudah goyah. Lagipula, intisari batangnya adalah ares yang bersih. Jika kehidupan ini memiliki landasan yang kokoh
dan hati bersih, inysallah hidup kita
jalani dengan bersih pula.
Sesunguhnya semua kebaikan
itu berasal dari Tuhan, maka tak salah jika kita belajar dari pisang untuk
mengawal yang bersih dan menjaganya dengan berbuat baik dan mempertahankan
kebaikan itu. Allah pasti memberkahi karena itu yang Ia inginkan. Jadi, ketika visi kita mengarahkan kita untuk
memberikan yang terbaik dengan tetap diberkahi tuhan (Blessed by God) falsafah
pisang layak kita pelajari: yang baik
datang dari Dia, maka selalu berbuat baik dan selalu menjaga kebaikan itu. Insyallah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar