ZERO BASE
Jika
bicara zero, saya teringat akan tulisan dari CEO (Chief Executive Officier) Bank
Muamalat Indonesia.
Ia berbicara masalah zero base dalam hubungan sosial. Menurutnya, Zero Base adalah sebagai cara pandang
atau sikap mental seseorang yang bersih, obyektif, apa adanya, tidak ditambah tidak dikurangi
menyangkut pekerjaan dan lingkungannya. Seseorang yang memiliki sikap mental
seperti ini akan memiliki kejernihan hati dan pikiran dalam menghadapi lawan
interaksinya.
Menurutnya ada 4 pemaknaan sikap zero base. Pertama,
tidak percaya diri. tidak rendah diri,
tapi percaya Allah. Kedua, tidak
terikat pada masa lalu dan tidak terobsesi pada masa depan. Ketiga, tidak menambah, tidak mengurangi tetapi apa
adanya. Keempat, tidak kufur saat miskin, tidak sombong saat
kaya.
Dengan kata lain, seseorang dengan sikap zero base memiliki
ruang yang lebih luas dan terbuka terhadap segala persoalan yang dihadapi.
Dengan cara pandang zero base segala sesuatunya—tentu saja selama dalam
koridor kemampuan manusia—menjadi mungkin. Jika seseorang menggunakan
cara pandang titik zero (nol) maka ia akan bertindak, berpikir, membuat pilihan
dan memberikan respon dengan mengembalikan segalanya pada akar atau pada dasar
permasalahannya. Memulai sesuatu dengan menempatkan diri pada titik nol maka
tanggapan panca inderanya menjadi jernih dan segala sesuatunya menjadi mungkin.
Implementasi
Zero Base.
Cara pandang zero base akan memandu kita untuk berpikir
terbuka dalam menghadapi segala sesuatu. Kita akan berpikir bahwa selalu ada
jalan untuk setiap kesulitan, masalah atau problem yang dihadapi. Sehingga
tidak ada istilah “buntu” untuk mereka
yang meyakini “inna ma’al u’usri yusroh?”. Sebab, persoalannya bukan pada kenapa sesuatu (takdir) itu terjadi, tapi
bagaimana menghadapi takdir tersebut dengan lebih “nyeni”. Jadi, bukan soal
seseorang memiliki kekurangan, tapi bagaimana mengubah atau meminimalisir
kekurangan menjadi sesuatu yang membawa manfaat untuk diri dan lingkungan.
Dalam implementasi, cara
pandang zero base ini akan memberi
benefit (manfaat) bagi kita, seperti:
1. Memandang manusia sebagai individu yang dinamis.
Manusia adalah makhluk dinamis yang bisa belajar dari
kesalahan untuk kemudian memperbaiki
kesalahan. Karena itu dalam menilai seseorang kita tidak boleh terjebak hanya
pada jejak rekam masa lalunya. Setiap manusia boleh melakukan kesalahan masa
lalu, tapi tidak boleh terjebak dalam kesalahannya. Prinsip ini membuat kita
bisa memaafkan dan memaklumi kesalahan seseorang selama yang bersangkutan ada
kesungguhan untuk memperbaiki diri.
2. Terbebas dari
prasangka
Memulai hubungan sosial dengan prasangka akan membelenggu
pikiran kita dengan sejumlah persepsi tentang seseorang yang belum tentu
benar. Terlalu berprasangka baik—tanpa data dan informasi akurat dapat menjebak
kita pada sifat lalai dan ghurur (terperdaya). Sebaliknya, pransangka
buruk pun akan membelunggu kita dengan ketakutan dan kekhawatiran yang tidak
mendasar
3.Menilai apa adanya.
Penilaian kita terhadap baik buruknya seseorang bukan didasarkan
pada prasangka tapi berdasarkan apa yang kita lihat, kita ketahui dan kita
alami saat berinteraksi. Apa adanya dan obyektif. Dalam konsep Rasullullah,
seseorang dikatakan saling mengenal dengan baik jika telah shalat berjamaah,
bermalam di rumahnya atau melakukan perjalanan bersama.
4. Berani mengambil
sikap.
Dengan cara pandang zero, kita tidak takut mengambil sikap
terhadap seseorang. Perbedaan atau penolakan, berpihak atau memusuhi bukan
didasarkan pada apa kata orang kebanyakan, tapi berdasarkan cara pandang kita
yang jernih dan bersih. “Dan kebanyakan mereka tidak mengikuti kecuali
persangkaan saja. Sesungguhnya prasangkaan itu tidak sedikit pun berguna untuk
mencapai kebenaran.” (Yunus:36).
5. Berpegang pada standar ilahiyah.
Cara pandang zero pada
dasarnya cara pandang dengan standar “langit”. Seseorang diukur dan dinilai
bukan berdasarkan keturunannya, hartanya, kedudukannya atau jabatannya tapi
berdasarkan kadar relasitasnya dengan Allah SWT. Bukankah orang yang paling
mulia disisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa.
Tujuan hubungan
sesama manusia adalah untuk saling mengenal dan saling bekerja sama guna
mencapai tujuan suci. Dengan cara pandang zero, kita akan mengosongkan hati dan pikiran dari tujuan menyakiti, merusak,
memanfaatkannya atau tujuan-tujuan kotor lainnya. Zero adalah nol tapi zero
tidak bernilai nol!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar