Oleh: Yusnadi
Ibu susi pagi itu
sedang ngopi di ruang keluarga dengan temani koran pagi. Sementara telingganya
tidak lepas mendengarkan siaran berita yang ditayangkan salah satu televisi
swasta. Inah sudah beberapa kali memanggil-manggil nyonya besarnya, “Bu di
teras ada tamu menunggu ibu,” suara lembutnya tak terdengar.
Bu Susi masih asyik
dengan dunianya, baca Koran dan mendengarkan berita di televisi. Kali ini Inah
menoel tangan nyonya-nya, “Bu, bu ada tamu,” suara Inah masih terdengar lembut.
“Endak tahu bu, Inah
tidak kenal. Wanita muda dengan seorang gadis kecil,” jelas Inah.
Bu Susi
bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan. Biasanya teman atau relasi Bu Susi
kalau mau berkunjung pasti telepon dulu. “Pasti bukan tamu aku,” hati kecil Ibu
Susi berkata sambil bergegas dari kursi goyangnya.
Ketika Bu Susi
membuka pintu didapati seorang wanita muda sedang bermain-main dengan seorang
gadis kecil di taman depan rumahnya. “Kamu sudah tahu belum apa keperluannya
ingin bertemu aku,” tanya Bu Susi pada Inah.
“Nanti akan
dijelaskan kepada Ibu,” kata Inah menjelaskan permintaan wanita muda itu. “Ini persoalan penting dan rahasia. Tidak
semua orang boleh mendengarnya,” ucap Inah menirukan ucapakan wanita muda yang
sedang bermain-main dengan seorang gadis kecil di taman itu.
“Aku merasa tidak
asing dengan mereka,” hati kecil Bu Susi berbisik.
Akhirnya untuk
menjawab semua teka-teki itu Bu Susi menyuruh Inah untuk mempersilahkan tamu
yang tak diundang itu menemuinya. Bu Susi sudah duduk manis dan berwibawa di
kursi teras rumahnya.
Wanita muda itu masuk
menemui Bu Susi. Ia bersalaman dengan santun. Begitu juga anak gadis itu
diperintahkannya untuk cium tangan pada Bu Susi. Tapi tangan Bu Susi ditariknya
ketika anak itu akan cium tangan.
Mereka bertiga duduk
di teras itu. Sementara Inah sudah masuk untuk mengambil minum atau sekedar
menghindar dari pembicaraan rahasia mereka. Wanita muda itu membuka pembicaraan
dengan memperkenalkan diri. “Perkenalkan nama saya Dewi. Ini Sinta Anggraeni. Sudah lama saya ingin menemui
ibu tetapi saya tahan, saya telah berjanji kelak jika Sinta sudah berumur 5
tahun akan saya perkenalkan kepada Ibu. Sinta sekarang telah berusia 5 tahun,
maka kini saatnya saya memperkenalkan Sinta siapa sebenarnya ia dan siapa
sebenarnya saya”.
Wanita yang
memperkenalkan diri sebagai Dewi itu, melanjutkan ceritanya. “Saya adalah suster
yang mendapatkan tugas dari Pak Rafi ….”
“Siapa … Rafi kamu
bilang,” hentak Bu Susi kaget. Dalam benaknya timbul berbagai pertanyaan. Namun
untuk jelasnya Bu Susi lebih baik diam karena ia ingin lebih lanjut mendengar
cerita dari wanita muda yang ada dihadapannya.
“Lalu?” tanya Bu
Susi.
“Pak Rafi berpesan
bahwa saya boleh membawa Sinta kepada Ibu jika ia sudah berusia 5 tahun”.
“Kenapa harus dibawa
ke saya?” tanya Bu Susi.
“Bukankah Pak Rafi
anak ibu dan ini adalah cucu ibu, Sinta”, Jelas Dewi mencoba meyakinkan Bu
Susi.
“Saya ragu, … apa
betul dia cucu saya”.
“Percaya atau tidak
bukan wewenang saya untuk meyakinkan ibu. Tugas saya adalah menjalankan amanat
Pak Rafi. Dan itu sudah saya jalankan, itu saja,” tandas suster yang bernama
Dewi ini.
“Lantas dimana si
Rafi sekarang?”
“Saya tidak tahu, bu.
Pak Rafi hanya menitipkan kotak ini kepada saya. Dan harus diserahkan kepada
ibu saat saya mengantarkan Sinta ke tempat ibu”.
Bu Susi menerima
kotak itu. Tidak ada apa-apa di kotak itu, selain sebuah Hp. “Apakah sebuah Hp
ini yang ingin ia berikan kepadaku. Sungguh anak yang tidak tahu diuntung,”
hardik Bu Susi.
“Iya bu, hanya Hp
itu. Karena semua peristiwa pentingnya sudah ia rekam di Hp itu,” jelas Dewi.
Bu Susi baru tanggap,
sebegitu pentingkah Hp ini. Ia ingin segera membuka dan menyetel rekaman yang
ada di Hp itu. Tapi keinginan itu ia tahan sementara, “Lantas setelah kamu
serahkan Hp ini padaku. Apakah anak ini juga akan kamu serahkan kepadaku?”
Perkataan Bu Susi menunjukan ketidaksukaannya.
“Terserah ibu. Jika
ibu mau menerima maka saya menyerahkan Sinta dengan berat hati, karena Sinta
sudah saya anggap anak sendiri. Tetapi kalau ibu tidak menerimanya, saya
sedikit kecewa karena tidak mampu menjalankan amanah dari Pak Rafi. Apa pun keputusan ibu, saya akan menerima
dengan senang hati. Senang karena telah
mampu menjalankan pesan dari Pak Rafi dan senang bila Sinta tetap bersama saya,” tutur Dewi dengan
santun.
Pernyataan Dewi
justru membuat Ibu Susi semakin bingung. Semakin bimbang ia untuk memutuskan.
Apakah ia harus menerima Sinta atau membiarkan cucunya ini untuk hidup
bersama suster yang telah merawatnya.
“Sekarang kamu bawa
saja anak ini bersamamu, karena aku belum tahu pasti apa yang si Rafi berikan
ini kepadaku. Aku ingin tahu lebih dulu isi dari rekaman ini. Kamu tinggalkan
saja alamat dan nomer Hp-mu,” ujar Bu Susi masih menjaga wibawa.
Setelah memberikan
apa yang Bu Susi minta Dewi segera beranjak dari duduknya. Ia menuntun Sinta
keluar dari rumah megah milik Bu Susi. Ia berjalan sebentar dan menghilang
bersama mobil angkot mengarah ke sebuah terminal.
Bu Susi terdiam dalam
hening. Tatapan matanya kosong memandang kepergian wanita muda cantik dan gadis
kecil yang pendiam dan nampak dewasa dibandingkan usianya. Sementara Inah sudah
berdiri terpaku di sebelah Bu Susi. “Bagaimana Inah menurut kamu tentang wanita
muda dan gadis kecil itu,” tanya Bu Susi.
“Saya kira betul bu
apa yang dikatakan wanita muda itu. Sinta Anggraeni adalah anak Pak Rafi tapi
saya ragu kalau Bu Dewi adalah seorang suster. Cara bicaranya seperti intelek,
ia sangat santun dan sopan sekali kepada ibu”.
“Jadi siapa dia
menurut kamu?”
“Jangan-jangan dia
istri dari Pak Rafi, bu. Tetapi untuk pastinya barangkali di Hp itu ada rekaman
yang lebih jelas untuk ibu,” papar Inah.
Tanpa menjawah ya, Bu
Susi masuk ke dalam rumah. Kopi panas
yang tadi pagi sedang dinikmati telah dingin. Televisi telah dimatikan oleh Inah. Koran dan
majalah yang tadi pagi sedang dibaca, telah pula dirapih-rapihkan oleh Inah. Bu Susi merenung di kursi
goyangnya. Ia belum mood untuk
mendengarkan Hp yang diberikan wanita muda itu. Justru wanita muda itulah yang
terbayang dalam ingatannya. Bu Susi
sejujurnya mengagumi wanita muda itu. Ia cantik, ia sopan, ia ramah. Sekalipun
tidak mengenakan baju berbahan mahal tapi cocok dengan pribadinya. Sederhana
dan anggun. Apakah betul apa yang dikatakan Inah …. Mungkinkah ia istrinya Rafi anakku.
Ingatan Bu Susi
menerawang ke masa lalu. Ia mengingat-ngingat peristiwa yang terjadi beberapa
tahun yang lalu. Tahun, bulan dan
tanggal berapa, ia lupa. Sejenak ia
menatap kalender yang terpasang di
dinding. Matanya terfokus pada tanggal di hari ini. Tatapannya semakin
tajam, tajam dan tajam …. Ia mulai sadar kejadian itu adalah hari ini 10 tahun
yang lalu. Bu Susi mulai ingat, tanggal 30 September sepuluh tahun yang lalu
Rafi pergi meninggalkan rumah ini.
Hari ini sepuluh
tahun yang lalu terjadi perang adu mulut antara ia dan Rafi. Ia menginginkan
Rafi untuk melanjutkan S2 di Belanda.
Dari sana ia bisa melanjutkan jejak Ayahnya sebagai seorang pengacara
handal. Tapi Rafi tidak mau. Rafi
beranggapan sudah cukup, selama ini ia menuruti kemauan ibunya. Masuk Fakultas Hukum sebagaimana saran
ibunya. Usai lulus ibunya masih pula mendorongnya untuk melanjutkan S2 dibidang
hukum. Bukan suatu yang buruk memang tapi tidak sreg di hati sang anak. Rafi lebih suka di dunia seni peran. Rafi
sering terlibat dalam pementasan drama di kampusnya. Di dunia itu Rafi
mendapatkan kepuasaan.
Puncak pertengkaran
ibu dan anak terjadi di hari ini sepuluh tahun lalu. Rafi dengan tegas menolak untuk menuruti
kemauan ibunya. Hingga akhirnya ibunya mengultimatum, ‘Jika kamu tidak mau
menuruti saran ibu, silahkan kamu tinggalkan rumah ini”. Mendengar itu telinga
Rafi bagai tersambar suara harilintar.
“Ibu, bila ibu
memberi saran akan Rafi pertimbangkan. Saran bukan berarti harus selalu
dituruti, kan …?”
“Alah pintar ngomong
kamu sekarang. Kamu mau turut perintah ibu atau tidak, kalau tidak silahkan …?”
“Maaf untuk kali ini
saya tidak bisa menuruti kemauan Ibu. Selama ini Rafi sudah cukup menjalankan
perintah ibu.”
“Lalu?”
“Rafi dengan terpaksa
akan mengambil pilihan kedua”.
“Meninggalkan ibu,
maksudmu?”
“Ya sesuai dengan
pilihan yang ibu berikan”.
Hari ini sepuluh
tahun lalu, Rafi pergi meninggalkan rumah ini. Dan kini sepuluh tahun telah
berlalu Rafi telah memiliki seorang anak,tapi benarkah itu anaknya? Dan
benarkah wanita muda itu istri Rafi?
Bu Susi teringat Hp
yang diberikan wanita muda itu. Ia segera memasang baterainya dan menghidupkan
Hp itu. Tapi kenapa Hp-nya di password? Bu Susi mencoba beberapa kali password
standar tapi tidak bisa. Ia ingat, untung tadi ia minta alamat dan no Hp wanita
itu. Catatan alamat dan no-Hp wanita itu
masih tergeletak di atas meja. Bu Susi segera menelepon wanita muda itu. Dan diperoleh
jawaban kode passwordnya “300911”. Bu
Susi sedikit kaget, itu adalah tanggal hari ini 30 September 2011. Bu Susi
langsung membuka “video player” dari Hp itu.
Isinya terdapat 3 file video. Bu Susi membukanya satu per satu.
File pertama berisi
pernikahan Rafi. Bu Susi yakin itu benar adalah anaknya, tetapi mempelai
wanitanya kurang jelas, apakah wanita muda yang tadi pagi ke rumah atau bukan?
Durasinya hanya sekitar 5 menit.
File kedua berisi
persalinan anak. Saat-saat melahirkan telah terekam dengan baik oleh Rafi. Bu
Susi baru yakin ibu yang melahirkan cucunya ternyata bukan wanita yang tadi
pagi hadir ke rumah setelah melihat wajah dari ibu yang melahirkan. Tetapi
dimana ia sekarang? Bu Susi masih bertanya-tanya.
File ketiga berisi
rekaman anaknya yang sedang bermain-main dengan ibunya. Tetapi bukan dengan ibu
yang melahirkan tadi, melainkan dengan wanita muda yang datang tadi pagi.
Bu Susi mulai bisa
menangkap apa pesan yang ingin disampaikan Rafi. Tetapi kemana Rafinya?, Kenapa
bukan ia sendiri yang mengantarkan semua ini?
Telepon Bu Susi
berdering, diangkat olehnya. Terdengar
oleh Bu Susi suara yang sudah mulai akrab ditelinganya, Dewi. Wanita muda yang
merawat cucunya. Dewi memberi tahu bahwa pesan Rafi selanjutnya ada di file
Media Player bukan Video Player. Dan Hp-nya langsung mati.
Bu Susi segera
membuka file itu, terdengarlah suara Rafi:
Assalammualaikum ibu. Maafkan anakmu ini ibu. Anakmu ini
sudah 10 tahun ltidak bersilaturahmi dengan ibu. Kemarahan seorang ibu tetaplah
akan menjadi seorang ibu. Ibu tetaplah ibu untuk selama-lamanya dunia akherat.
Sebelum anakmu ini menutup mata anakmu ini ingin memberi pesan terakhirnya
kepada ibu lewat rekaman ini.
Saat-saat ini mungkin malaikat maut segera menjemput anakmu
ini ibu. Anakmu ini sudah terserang penyakit yang sangat koplikasi. Maafkan
anakmu ini ibu karena tidak sanggup membiayai pengobatannya sendiri. Tetapi ibu
tidak perlu merisaukan anakmu yang nakal ini, karena semuanya akan segera
berakhir. Syukur Alhamdullilah, anakmu ini telah berhasil memberi ibu seorang cucu. Rencana anakmu ini adalah
ingin membesarkannya sendiri tapi sayang umur anakmu ini rasanya sudah tak
mampu untuk bertahan, sehingga sebelum ajalku tiba anakmu ini hanya mampu
merawat anaknya sampai usia 4 tahun saja.
Selanjutnya anak dari anakmu ini akan dirawat oleh Suster
Dewi yang telah begitu sabar membantu kelahiran istri dari anak Ibu ini. Namun anakmu
ini berpesan kepada suster Dewi untuk menyampaikan ini semua pada ibu pada
tanggal 30 September 2011 sebagaimana anakmu yang nakal ini pergi meninggalkan
ibu di tanggal itu. Selamat jalan ibu, kondisi kesehatanku sudah tidak
memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama. Ampuni anakmu ini ibu. Mohon rawat
cucu Ibu yang bernama Sinta Anggraeni. Suster
Dewi telah banyak membantu anakmu dan cucumu, tapi sayang anakmu ini tidak
sempat menikahi suster Dewi sungguhpun ia sangat dan sangat mencintai aku.
Sedangkan mamanya Sinta telah meninggal saat melahirkannya.
Bu Susi ingin
berkata-kata tetapi kepada siapa. Bu Susi ingin menangis tetapi tidak bisa.
Akhirnya ia memanggil Inah. Bu Susi mengajak Inah untuk menemui wanita muda
yang tadi pagi berkunjung ke rumah. Sekaligus Bu Susi menjelaskan pada Inah bahwa
ia akan menjemput cucunya yang bernama Sinta Anggraeni. Mobil BMW terbarunya
dengan sang supir telah siap meluncur untuk
menjemput cucu dan Suster Dewi. Senja telah tiba, langit berwarna kemerahan
akan menjadi saksi akan telusan Bu Susi menjemput cucunya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar