Minggu, 18 Desember 2011

Artikel Yusnadi: Arung Jeram VS Ewuh Pakewuh


Oleh : Yusnadi 

Arung Jeram.
Arung Jeram adalah salah satu kegiatan  olah raga dengan resiko tinggi. Beberapa bulan yang lalu secara tidak sengaja saya diajak oleh seorang teman untuk mencoba berarung jeram di daerah Cipetir, Sukabumi.  Olah raga ini sarat dengan standar dan prosedur yang harus ditaati oleh semua peserta demi keselamatan dan kenyamanan bersama. Sebelum pelaksanaan dimulai semua peserta di-briefing dengan seksama  tentang apa itu arung jeram, rute arung jeram  dan kemungkinan-kemungkinan yang bisa saja terjadi dalam berarung jeram.
Hal yang sangat menakutkan bagi peserta adalah timbulnya banjir bandang. Yaitu suatu banjir, di tempat kita tidak hujan tetapi kita mendapatkan limpahan sebagai banjir kiriman. Dan ini sering terjadi dari arus sungai Bogor ke sungai di Sukabumi. Sekalipun rasa takut  cukup besar dihati  tetapi naluri ingin tahu juga sangat besar mendorong untuk mencobanya. Pukul 10 tepat, tim kami yang terdiri dari 7 orang (6 peserta dan  1  sebagai skipper) sudah berpakaian lengkap. Saya mengambil posisi di tengah dengan harapan di tempat ini resiko paling kecil. Di depan ngeri, dengan bayangan dialah orang pertama jika menabrak bebatuan. Sementara di belakang adalah kaptennya (skipper) yang mangatur semua awak yang diwajibkan mematuhi segala perintahnya. Jika semua perintah sang kapten dilaksanakan maka semua akan selamat sampai tujuan. Jarak tempuh yang kami ambil adalah yang terpanjang dengan memakan waktu sekitar 3 jam.
Usai berdoa  saya naik perahu karet, hati belum merasa tenang sekalipun saya coba untuk tetap terlihat ceria. Dalam 30 menit pertama perjalanan masih tenang, segala rintangan masih terasa ringan  Memasuki jam kedua,  dada mulai berdebar kencang  rintangan batu-batu besar dan turunan-turunan air curam mulai menghadang. Arus cukup kencang, rintangan bebatuan menghadang dan dayung yang kami pakai seolah tidak berfungsi untuk mengendalikan arah perahu.  Sang kapten berteriak mengomando untuk mendayung lebih kuat, lebih kuat atau menahannya untuk belok ke kiri. Dengan gaya meyakinkan semua peserta bersatu  mengatasi segala rintangan. Semua perintah sang kapten tanpa perlu diperdebatkan lagi kami laksanakan dengan  sigap, tanggap dan cekatan.  Ia berteriak membentak, membentak dan terus membentak sepanjang jalan yang beresiko tinggi. Kami tanpa sakit hati sekalipun terus dimarahi terutama saat-saat menghadapi resiko tinggi. Kami semua merasa bukan tunduk pada sang kapten  tetapi kami semua taat pada aturan standar keselamatan perjalanan. Semua instruksi sang kapten dapat dilaksanakan dengan baik, segala marabahaya dapat dihindari dengan baik, sekalipun badan terasa dibanting-banting, kuping terasa bengkak tetapi hati tetap senang.
Apa yang dapat dipetik dari sini?

Hiking Story
Sebelum hal itu dijawab, saya punya cerita lain dari seorang teman tentang  kawannya. Teman saya bercerita tentang kawannya yang pergi hiking ke Gunung di Jawa Tengah dengan 5 orang temannya. Di tengah puncak gunung mereka memasuki suatu gua tua untuk beristirahat. Namun tak lama mereka beristirahat di sana terjadi tanah longsor yang menutupi pintu gua. Mereka berlima berusaha untuk ke luar dari gua itu dengan cara menggali pintu gua dengan peralatan seadanya yang mereka bawa. Selang lima jam setelah bekerja keras, terbukalah sedikit celah yang hanya bisa dimasuki oleh satu orang saja. Kawan teman saya mempersilahkan temannya untuk ke luar telebih dahulu, sementara teman saya yang satu ini pun mempersilahkan kawannya untuk ke luar terlebih dahulu. Satu sama lainnya masing-masing mempersilahkan untuk ke luar terlebih dahulu hingga waktu dua, tiga hari terlewati. Satu minggu terlewati, satu bulan terlewati hingga akhirnya mencapai  1 tahun lebih dan ditemukan oleh Tim SAR dalam keadaan sudah membusuk dengan posisi saling tunjuk menunjuk.
Apa yang dapat dipetik dari cerita di atas?

Hikmah
Dalam kasus arung jeram hampir sama dengan kisah perjalanan suatu perusahaan. Di depannya banyak sekali rintangan. Segala resiko akan terus menghadang di depannya. Yang diperlukan oleh perusahaan adalah adanya sistem, aturan, prosedur dan standar keselamatan dalam mencapai tujuan  yang harus ditaati oleh semua karyawan/ti-nya. Dilarang keras mengambil inisiatif sendiri dengan cara mendayung duluan  atau berhenti mendayung tanpa diperintah.
Dalam kegiatan arung jeram yang diperlukan adalah kerja sama yang tangguh dalam melewati setiap jeram yang memang sulit untuk diprediksi sebelumnya. Irama dayung harus mengikuti awak yang berada paling depan, sedangkan kapten berada di belakang sebagai pengemudi dan pemberi perintah. Sang kapten harus menguasai medan, paham aturan sedangkan para awak harus taat pada sang kapten dan berpegang teguh pada aturan, prosedur dan sistem. Taat pada kapten adalah salah satu standar keselamatan dalam perjalanan.

Sedangkan kisah dari teman saya tentang kawan temannya dipendakian gunung yang menonjol adalah budaya ewuh pakewuh (sungkan). Budaya ewuh pakewuh  dalam batas-batas normal akan meningkatkan kualitas hubungan seseorang dengan yang lainnya. Emosi (perasaan) pribadi lebih menonjol, tanpa didasari sedikitpun niat untuk menjatuhkan atau mempermalukan orang lain. Namun jika porsinya berlebihan maka budaya ewuh pakewuh akan melemahkan tegaknya aturan dan sistem yang berlaku.
Ketika ewuh pakewuh dirasa sangat berlebihan maka akan memicu seseorang untuk “Yes Man” atau Asal Bapak Senang (ABS). Di depan berkata  “iya” tetapi di belakang gondoknya setengah mati. Padahal tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. Semua manusia perlu dikoreksi, diingatkan, disarankan untuk memilih yang terbaik. Dimarahi atau memarahi adalah bagian dari arah untuk mencapai tujuan. Tidak perlu sakit hati selama itu masih dalam koridor aturan suatu sistem.
Sistem dalam  arung jeram dengan budaya ewuh pakewuh ternyata jauh berlawanan. Dalam arung jeram ketegasan dalam perintah ada; jelas, tegas, spontan. “Marah” ya “marah”, “maki” ya “maki” tetapi tidak ada yang merasa sakit hati, karena semua paham akan resiko dan tahu aturan untuk selamat dari bahaya yang menghadang. Sedangkan dalam budaya ewuh pakewuh, perasaan  diri, menahan diri, diam diri untuk tidak berbuat lebih kuat. Bahkan “rela mati” hanya karena ada rasa sungkan untuk menyampaikan sesuatu, takut perasaan orang lain tersinggung.

Asertif
Alternatif dari sistem arung jeram dan budaya ewuh pakewuh mungkin yang tepat adalah teori asertif.  Perilaku asertif ditandai dengan dua cara. Pertama mempertahankan hak sendiri dengan cara yang tidak mengorbankan hak orang lain. Kedua mengekspresikan kebutuhan, keinginan, pendapat, perasaan dan keyakinan dengan cara langsung, terus terang tetapi tetap sopan.
Asertif mengandung pengertian; mengatakan, bertindak, berbuat dan mengekspresikan diri  sesuai dengan hati  nurani dan benar apa adanya tetapi dilakukan dengan cara yang sopan. Hanya ada dua kutub untuk teori asertif ini: black (hitam) atau white (putih) bukan gray (abu-abu). Orang yang bertingkah laku asertif memiliki keberanian yang sungguh-sungguh untuk mengatakan kebenaran yang ada sekalipun ia siap untuk tidak disenangi orang lain. Ia berani mengatakan apa yang benar kepada orang lain (sekalipun mungkin tidak mengenakan hati orang tersebut) tanpa perlu merasa berhutang budi atas perbuatan orang lain.
Orang asertif  menggunakan cara yang sopan dalam penyampaian pendapat sekalipun pendapatnya tersebut sudah pasti benar. Tidak “ceplas-ceplos” dan  tidak “blak-blakan” seperti dalam sistem arung jeram yang terkesan tanpa etika komunikasi. Tetapi tidak juga ewuh pukawuh (sungkan), menahan diri, berdiam diri seakan tidak perduli dengan lingkungannya.
Ketika setiap individu bersedia mengembangkan tingkah laku asertif, maka banyak keputusan yang dapat segera diambil dan dilaksanakan. Iklim yang  dibangun pun akan tampak transparan dan terbuka. Di dalam lingkungan perusahaan yang mengembangkan tingkah laku asertif akan mampu menghantarkan organisasinya ke arah yang dicita-citakan. (YS). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar