Selasa, 13 Desember 2011

Cerpen: Gadis Terpasung



Oleh: Yusnadi

Zaman boleh berubah, teknologi boleh berkembang tapi satu hal yang tidak dapat dipisahkan dari Tisu yaitu selalu berurusan dengan mbah dukun.  Nama Tisu singkatan dari Titik Sumiati. Teman-teman kuliahnya menjuluki Tisu, karena sebungkus tissue tidak pernah lepas dari kantongnya.
Handphone termahal boleh digenggam olehnya, blackberry boleh menjelajah dunia maya setiap hari. Tapi dalam hal ramal meramal nasib, jodoh, karier  tak bisa hilang dari Tisu. Mbah dukun dan berbagai ramalan lewat SMS selalu menjadi handalan Tisu. Demikian  kebiasaan gadis manis yang berada di Kampus Tercinta, Lenteng Agung, Jakarta ini.
Dandanan cukup fungky, cool, dan trendi. Pergaulan sangat supel, ramah dan  romantic. Jadi sebenarnya tidak ada yang kurang dari sosok Tisu. Ia sebetulnya cocok dikatakan sebagai gadis masa kini dengan pergaulan yang luas. Begitu juga jika dilihat selera  cowoknya yang  agak maco.
Itu baru soal cowok, dandanan dan genggaman Hp yang selalu dipegangnya. Belum lagi bila dilihat selera mobilnya. Top mobil masa kini, gaya anak muda. Sangat lengkap dan sempurna bila dikatakan Tisu adalah gadis idaman para pria. Tapi ada satu hal yang tidak pernah lepas dari kebiasaan-kebiasaan Tisu terlepas dari kemajuan-kemajuan yang mengikutinya, yaitu selalu rutin pergi ke mbah dukun.
Pergi ke mbah dukun sudah ia catat sebagai agenda rutin yang harus dijalankan. Belum lagi ramalan-ramalan lewat SMS selalu ia catat dan ia jalankan petuahnya.
Aku tidak habis pikir syetan apa yang hinggap di pundaknya. Aku tahu betul saat menjelang skripsi, ia konsultasi bukan ke dosen pembimbing tapi pergi ke mbah dukun  setiap malam Jumat.
Sepulang dari mbah dukun ia biasanya tersenyum senang.  Rasa percaya dirinya meningkat, tetapi begitu skripsinya di coret-coret oleh sang dosen, maka ia pun dengan sedikit mengancam, “Lihat saja minggu depan akan kubuat tekuk lutut dosen itu,” ujarnya.
Namun minggu depan terulang lagi seperti minggu kemarin, begitu seterusnya hingga akhirnya satu semester terlewati tanpa membawa hasil. Akhirnya aku sebagai teman yang sedikit menaruh hati padanya hanya berpesan, “Titik,” kupanggil nama aslinya, “Untuk apa  Titik pergi ke dukun, mending uangnya untuk traktir teman-teman dan teman-teman pasti siap membantu ”.
Tanpa memberi jawaban ia memandangku. Tatapannya tajam tetapi lama-lama menjadi redup hingga akhirnya keluarlah tetesan air mata membasihi pipinya. Selanjutnya kami tanpa disadari sudah saling berpelukan tanpa mengeluarkan kata-kata. Malam yang indah di Kampus yang rindang, Lenteng Agung.
 (Medio 2009)

1 komentar: