Oleh: Yusnadi
Namaku Lily Indrawati tapi
teman-temanku terutama yang cowok-cowok memanggilku Lily Kutilangdara (Kurus
tinggi langsing dada rata). Aku sama
sekali tidak perduli dengan cowok-cowok yang memanggilku Lily Kutilangdara. Toh
pada kenyataannya banyak diantara mereka yang suka sama aku, geer nih yeee….
Tubuhku memang kurus, tinggi,
langsing dengan payudara kecil, hampir rata. Tapi kalau cowok-cowok itu mau
jujur, body-ku tetap aduhai kok bagai gitar spanyol. Itu bukan menurut aku tapi menurut
salah satu cowok diantara mereka yang berkata jujur padaku. Dalam hati aku
berkata, “ah dasar cowok, itu tidak
aneh”.
Diantara ejekan mereka padaku,
secara one by one mereka sering minta
nomer hp-ku. Dan sepantasnya pula aku berikan nomerku kepada mereka dengan
nomer yang sesungguhnya atau hanya asal nyebut nomer saja. Dan sudah pasti
diantaranya ada yang berhasil menghubungiku dan pasti juga ada yang kecewa, aku
hanya tersenyum dalam hati. Ternyata Lily Kutilangdara ini banyak juga
penggemarnya.
Cowok-cowok yang serius
meneleponku ada: Fadli, Djoko, Ubay, Benny, Roy dan Arga. Semua identitas
mereka sudah aku dapat. Fadli anak seorang guru, Djoko anak seorang tentara, Ubay
anak mami yang selalu dimanja, bawaannya melebihi aku sebagai seorang wanita,
alias banci. Benny anak seorang pedagang kelontong, Roy anak seorang bengkel
mobil dan Arga preman di sebuah diskotik.
Yang pasti ngotot dan kecewa bila
menghubungi aku adalah Fadli dan Arga karena
mereka kuberi nomer mati. Tapi entah darimana akhirnya Arga berhasil
juga menghubungi aku. Sedangkan Fadli tidak seserius Arga dalam mencari aku
untuk ngerumpi ria dan berbagi rasa.
Karena Arga berhasil menghubungi
aku maka akan aku buat ia, seakan kenal aku sebagai musibah. Dan berlaku bukan
hanya buat Arga, bagi cowok-cowok yang lain pun sama. Dengan mereka mengenal aku dan aku mengenal
mereka lebih jauh maka aku akan mendapatkan keuntungan darinya, paling tidak dari
Arga aku mendapatkan keuntungan parkir
dan masuk diskotik gratis. Sedangkan dari Fadli sudah tidak direken
karena tidak berjuang sungguh-sungguh mendekati aku. Untuk Djoko, Ubay, Benny
dan Roy aku sudah mendapatkan keuntungan, seperti:
Dari Djoko aku sudah
mendapatkan keuntungan berupa keamanan, paling tidak aku bisa jual nama bapaknya
sebagai seorang tentara. Dari Ubay aku mendapatkan uang lebih, karena Ubay suka
royal ngajak makan ini dan itu. Jika aku malas atau tidak sesuai dengan selera makannya maka
aku minta mentahannya aja. Alias uangnya saja aku minta. Dari Benny aku sudah mendapatkan keuntungan
berupa potongan harga bila belanja di toko kelontongnya. Sedangkan dari Roy aku bisa service mobil
gratis, paling tidak jasa bengkelnya aku tidak harus bayar, kecuali untuk suku
cadangnya.
Bagi cowok-cowok yang suka
menggoda aku, sudah aku manfaatkan jasanya secara bijak, sopan dan tidak
berkesan arogan. He he …, boleh saja
mereka bilang padaku dengan julukan kutilang dara. Kurus tinggi langsing dada
rata. Tapi aku tetap maniiii…ssss khan, kulitku
juga kuning langsat, rambutku indah seindah rambut sunsilk. Kepada cowok-cowok
yang suka meledek aku dengan tidak jujur, akan aku taklukan secara lembut.
Akulah si Wonder Women yang bertitel
Kutilangdara.
Tapi sejujurnya pula aku
katakan bahwa tidak semua cowok aku manfaatkan dengan “kekuatanku”.
Kadang-kadang aku memanfaatkan mereka hanya untuk ngetes saja, seberapa besar
dia perhatiannya padaku. Dan aku juga bisa menjajaki seberapa lemah
ia terhadap wanita. Yang pasti aku tetap mengidamkan cowok yang jantan: gagah,
tegas, berani, tampan dan baik hati.
Dengan lima kreteria itu aku sudah tahu yang terbaik adalah Arga. Sosok Arga orangnya gagah, tegas,
tampan dan baik hati. Tapi tingkat keberaniannya aku nilai masih kurang. Sekalipun
ia seorang preman dari sebuah diskotik yang tidak berkantong tebal namun sudah
dapat meluluhkan aku si wonder women.
Aku memang wanita tomboy tapi feminim, cuek tapi sopan, sedikit arogan tapi tetap
lembut dan menginginkan cowok yang dapat melindungi. Cowok yang masuk dalam kriteria
aku adalah Arga.
Arga sudah lulus aku tes.
Semangat Arga dalam mencari tahu tentang aku patut aku hargai. Mulai dari
tanya-tanya nomer telepon, curi pandang aku hingga mendatangi rumah aku.
Mengamankan mobilku, mengantar aku dan mentraktir aku dengan selera yang
sederhana. Tapi aku makhlum karena dia hanya preman diskotik, bukan cowok
berkantong tebal. Tapi sayang keberaniannya
untuk menembak aku tak kunjung datang, apakah dia minder? Padahal sudah aku
beri angin surga padanya. Semakin aku beri angin segar justru semakin minder
dia.
Sebaliknya pada diri akulah justru semakin
berdebar-debar. Aku tunggu kata-kata indah dari Arga tak kunjung terucap. Aku
semakin tidak sabar dan tidak tahan ingin kepastian darinya. Pada suatu saat
dengan tarikan nafas panjang sebanyak dua kali, kuucapkan setenang mungkin, aku berkata, “Arga
setelah lama aku mengenal kamu, … eeeh kalau kamu jadi pacar aku mau engga,” kataku
ketus tapi serius. Setelah mengatakan itu plong dada ini terasa enteng. Café sederhana
yang ada di jalan Way Halim, Bandar Lampung itu terasa sepi. Irama
instrumentalia yang dimainkan terasa lembut di telinga. Mataku aku alihkan kesekeliling
Café sementara telingaku aku
konsentrasikan untuk menunggu jawaban dari Arga.
“Ah Lily yang bener, kamu
engga sedang ngetes aku kan?” jawab Arga seakan tidak percaya dengan ucapanku.
“Ya benarlah, apakah kamu merasa
selama ini aku sering ngetes kamu”.
“Merasalah bahwa kamu sering
ngetes aku, terutama saat-saat aku dikacungi kamu. Aku sebetulnya gengsi juga
tapi apa boleh buat, aku turuti perintah kamu karena aku sayang kamu”.
“Lantas kenapa kamu tidak
nembak aku?”
“Aku mau nembak kamu tapi
malah kamu duluan yang nembak aku, kamu tidak sedang ngetes aku, kan?” tanyanya
lagi.
“Tidak. Aku tidak sedang
ngetes kamu, kamu sudah lulus. Kamu adalah pria yang paling tampan diantara
yang lain,” kataku sejujurnya.
Dengan jawaban yang seutuhnya
dari aku ini Arga sama sekali tidak bereaksi senang, bahagia atau menunjukan apa gitu padaku. Ia tetap tenang dengan
senyum-senyum. Hal ini membuat aku gemas. Aku berdiri mendekat padanya; Aku
pegang kepalanya, aku lepas topi yang dikenakannya, aku ngelus kedua pipinya
dengan tanganku dan … aku kecup
keningnya, cup! Dan segera aku beranjak pergi dari hadapannya.
Aku pergi, eeh dia tidak mengejar aku. Paling
tidak harusnya ia menarik tanganku
seperti di senitron-senitron tv itu. Dengan mengatakan, aku juga cinta kamu dan
selanjutnya bla bla bla … hingga
akhirnya masuk dalam hangatnya pelukan. Tapi itu tidak terjadi. Aku sebel, aku
kecewa Arga sama sekali tidak romantis orangnya.
Aku pergi. Aku naik mobil. Aku
tancap gas. Arga sama sekali tidak beranjak dari tempat duduknya. Sampai di rumah aku nangis
tersengguk-sengguk. Aku malu, aku malu, aku merasa malu sebagai wanita murahan.
Aku benci Arga, aku benci Arga tapi aku cinta dia. Hingga jam dinding
berdentang 12 kali, malam semakin larut. Aku masih tetap menangis. Namun dalam kesedihan itu aku
berpikir, aku yang merasa wonder women
akhirnya manangis juga karena cinta.
Esoknya kutunggu telepon Arga
tidak kontek juga, lusa barangkali ia akan kontek aku namun belum juga. Ah
besok lusa barangkali kataku menghibur diri namun tidak juga. Hingga akhirnya aku berkesimpulan, akan aku
beri batas waktu 1 minggu, bila dalam 1 minggu tidak ada jawaban--berarti si worder women ini mengalami cinta
bertepuk sebelah tangan. Malu memang
rasanya. Tapi aku adalah worder women,
tidak boleh cengeng.
Ketika Dead line hampir habis, Arga bertandang ke rumahku tanpa dosa. Ia
dengan tenang masuk ke teras rumahku. Aku sambut dengan dingin tanpa
mengeluarkan kata-kata. “Lily kenapa kamu belum balas emailku?” tanyanya tiba-tiba.
“Email,” kataku kaget. “Aku tidak pernah email-an lewat hp. Emailku
hanya ada di PC, ada apa dengan email?”
tanyaku.
“Aku menunggu jawaban dari
kamu?”
“Aku yang justru menunggu
jawaban dari kamu?”
“Jawaban kamu sangat penting
bagi kita?”
“Justru jawaban kamu sangat penting bagi Kita?”
“Mana yang lebih penting
jawaban aku atau jawaban kamu?”
“Bagi aku jawaban kamu sangat
penting?”
“Bagi aku jawaban kamu lebih
penting?” Akhirnya kami terdiam seribu bahasa.
Akhirnya aku yang bersuara
terlebih dahulu, “Oke sekarang kita buka email,
seberapa penting email kamu itu?”
“Setuju!”
Tertulislah email Arga di PC Lily dengan kalimat sebagai berikut:
Lily
Indrawati gadis manis yang tomboy tapi manis. Sementara aku adalah lelaki
jantan yang berani, tegas dan tampan. Orang tua kita pasti ingin anaknya
bahagia dunia akherat. Oh ya setelah
kamu kecup aku, kemudian pergi, datanglah temanku yang baru menikah, ia banyak
cerita. Namun kita juga harus pandai memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya.
Karena waktu sebagaimana kamu pernah bilang, sekali datang ia tidak akan kembali lagi.
Apakah hukum itu masih berlaku, zaman
sudah semakin tua, teknologi semakin canggih.
Bagaimana dengan novel favorit kamu. Saya perhatikan di rumah kamu
banyak novel dan komik. Bagaimana dengan
cerita-cerita fiksi itu, setuju cerita itu?
“Jawaban apa yang harus aku
berikan dengan kalimat seperti ini. Tidakah lebih penting jawaban kamu buat
aku,” tegasku pada Arga.
“Eest … belum selesai. Coba kamu ikuti rumus dalam cacatan
dibawahnya,” jelas Arga dengan lembut
padaku. Dan dalam note tertulis
sebagai berikut:
Tolong “bold
and underline” kata-kata ke: 1, 9, 22,
38, 49, 55, 65, 81, 96
Lily
Indrawati gadis manis
yang tomboy dan kutilangdara. Sementara aku
adalah
lelaki jantan yang berani, tegas dan tampan. Orang tua kita pasti ingin anaknya bahagia dunia akherat. Oya, setelah kamu kecup aku, kemudian pergi,
datanglah temanku yang baru menikah, ia banyak cerita. Namun kita juga harus pandai
memanfaatkan waktu dengan sebaik-baiknya. Karena waktu sebagaimana kamu pernah bilang sekali datang ia tidak akan kembali lagi. Apakah hukum itu masih berlaku, zaman sudah semakin tua, teknologi
semakin canggih. Bagaimana dengan novel
favorit kamu. Saya perhatikan dirumah kamu banyak novel dan komik.
Bagaimana dengan cerita-cerita fiksi
itu, setuju?
Hingga terbacalah kalimat tak
terduga oleh Lily: “Lily
indrawati aku ingin menikah dengan kamu, apakah kamu setuju?
“Arga!” hentak Lily kaget,
“apakah kamu serius?”
“Ya aku serius, mana yang
lebih penting jawaban aku atau jawaban kamu?”
“Pertanyaan kamu berat, beri
aku waktu satu minggu lagi, okey?”
“Okey,
sayang!”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar