Oleh : Yusnadi
Di rumah bibiku
selalu ada pembantu, tetapi kenapa aku yang menanggung berat semua pekerjaan
rumah. “Kalau pembantu diberi pekerjaan berat nanti dia tidak akan betah,
sedangkan aku sekalipun diberi pekerjaan berat tidak mungkin pergi dari rumah
ini,” demikian prinsif bibiku. Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati,
sebetulnya yang pembantu itu dia atau aku?
_______________________________
Tinggal bersama saudara
sekalipun itu saudara dekat tetap saja berbeda dibandingkan dengan orang tua
kandung. Dari kecil, semanjak aku menginjak usia sekolah aku tinggal bersama
bibi (Adik dari orang tuaku). Aku merupakan anak kelima dari 7 saudara. Dua
kakak perempuan, 2 kakak laki-laki dan 2 adikku laki-laki. Semenjak orang tuaku membina rumah
tangga, kami sekeluarga tidak pernah berkumpul sebagai keluarga yang utuh.
Anak pertama lahir, begitu
menginjak usia sekolah kakakku diambil sebagai anak angkat oleh saudaraku yang
tinggal di Cianjur. Anak kedua terlahir perempuan
tinggal bersama ibu di Sukabumi. Anak ketiga terlahir perempuan diambil sebagai
anak angkat oleh saudaraku dan tinggal
di Jampang Kulon. Anak keempat lahir laki-laki, begitu menginjak usia sekolah
diambil oleh saudaraku yang tinggal di Bandung. Dan aku sebagai anak kelima,
ketika masuk usia sekolah diambil sebagai anak angkat oleh bibiku dan tinggal
di Jakarta. Sementara adikku, sebagai
anak keenam diambil oleh kakekku dan tinggal di Pelabuhan Ratu. Dan si bungsu,
anak ketujuh dia tinggal bersama ibuku di Sukabumi.
Jadi yang tinggal bersama
ibuku hanya dua, yaitu kakakku yang perempuan dan adikku yang paling kecil.
Sedangkan yang lainnya diambil oleh bibiku, pamanku dan seorang diambil oleh
kakekku. Semenjak kecil aku tidak begitu mengenal kakak-kakakku dan
adik-adikku. Tapi aku tahu bahwa aku punya kakak dan adik yang tinggal di
Sukabumi, di Bandung, di Pelabuhan Ratu dan di Jampang Kulon. Tetapi kami tidak
pernah berkumpul sebagai keluarga yang sempurna.
Pernah pada suatu hari di
perjalanan dalam satu bus, aku melihat kakakku duduk di belakang dan aku duduk
agak depan. Kami hanya saling memandang dan tersenyum tanpa mengeluarkan
kata-kata. Tapi kontak bathin kami aku rasakan telah saling menyapa. Kakakku
berada disamping ayah angkatnya. Begitu juga aku berada disamping ayah
angkatku. Kejadian seperti itu aku ingat hingga kini, karena terasa aneh.
Seharusnya ayah angkatku dan ayah angkat kakakku paling tidak saling menyapa
dan bersalaman tapi ini tidak sama sekali.
Kenapa hal itu tidak mereka
lakukan? Aku tidak tahu, karena ketika itu aku masih berusia 5 tahun sedangkan
kakakku 7 tahun. Kami sekeluarga dengan 7 bersaudara ini tidak pernah bertemu
dalam satu pertemuan yang sama. Tidak pernah saling komunikasi sekalipun kami
sama-sama tahu bahwa dia kakakku, bahwa dia adikku. Kalaupun kami bertemu dan
berkomunikasi nyaris seperti bertemu dengan teman saya. Hallo, hai, apa kabar dan selesai.
Kenapa hal itu terjadi? Aku
berpendapat karena ini pengaruh dari orang tua angkat masing-masing. Aku
sendiri kurang begitu mengenal sosok
ayahku. Aku lupa-lupa ingat wajah dari ayahku selain foto hitam putih yang
dipajang oleh ibu. “Itu foto ayah, cuma satu itu yang ibu punya,” demikian ucap
ibu menunjuk foto ayah. Sedangkan yang aku ingat hanya beberapa peristiwa saja
yang berkaitan dengan ayah. Pertama, yang
aku ingat adalah ketika aku dibelikan baju baru oleh Ayah saat lebaran. Kedua, saat digendong di malam hari ketika
berangkat dari rumah kakek untuk pulang ke rumah. Dan ketiga, saat ayahku terbaring sakit dan langsung menghembuskan
nafas terakhirnya. Saat itu aku berusia 4 tahun dan dipanggil oleh kakek untuk
masuk kamar bersama kakak-kakakku yang
lain. Dan seingatku saat ayah meninggal, ibuku tidak di sana. Di luar itu aku
tidak ingat peristiwa apa yang terjadi antara aku dan ayah. Sedangkan kedua
adikku sama sekali tidak mengenal ayahnya.
TINGGAL BERSAMA BIBI
Sesudah ayah meninggal aku
tinggal bersama bibi. Bibiku tidak hanya satu, aku tinggal bersama bibi yang
satu dan berpindah kepada bibi yang
lain. Sementara para bibiku dan pamanku juga belum punya rumah sendiri-sendiri.
Semua para bibiku masih tinggal di rumah
kontrakan, baik yang tinggal di Sukabumi, di Bandung maupun di Jakarta. Bibiku ketika
pertama pindah ke Jakarta ngontrak di daerah Menteng Atas, kemudian pindah ke
Minangkabau dan selanjutnya pindah lagi ke daerah Pasar Rumput.
Saudara-saudaraku menilai aku
anak yang beruntung, karena tinggal bersama bibi yang baik dan punya masa depan
yang bagus. Aku saat itu tidak paham apa maksudnya. Yang aku tahu dan yang aku
rasakan adalah aku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak besar. Bibiku
telah mempunyai seorang anak perempuan. Anak bibiku dan aku selisih umur 5
tahun. Tugasku sehari-hari diantaranya adalah menjaga dia dan mengajak bermain
dia.
Di luar momong aku juga
memiliki tugas dan tanggung jawab bersih-bersih rumah. Mulai dari membereskan
tempat tidur, lap-lap meja dan lemari, nyapu, ngepel dan nimba air. Selesai
melakukan pekerjaan rumah, tugas lain adalah ke pasar. Setiap hari aku ke pasar
untuk belanja dengan catatan yang telah ditulis oleh bibiku.
Bertahun-tahun aku menjalani
kehidupan itu tanpa beban. Karena aku belum mengerti hidup yang aku jalani itu
harus bagaimana. Sehingga aku tidak merasakan hal yang berbeda dari perlakuan
bibiku. Aku masih diberi kesempatan bersekolah di siang hari. Aku masih diberi
waktu untuk bermain sekalipun harus sambil menjaga anaknya, yang aku anggap
sebagai adikku. Dia selalu aku jaga dan
aku bela jika terjadi keributan dengan teman-teman seusianya. Bahkan aku rela
berkelahi dengan kakaknya bila adikku dibuatnya nangis.
Pembelaan tanpa batas olehku
atas anak bibiku tidak selaras dengan
sikap bibiku terhadap aku. Bibiku sangat jelas membedakannya antara aku dan
anak kandungnya. Padahal bibiku pada saudara-saudaraku dan pada orang tuaku
selalu mengatakan bahwa aku sudah dianggap seperti anaknya. Tidak
membeda-bedakan. Tetapi kenyataannya jauh berbeda. Aku sangat merasakan
perbedaan itu. Adikku tidur di spring bad
aku tidur di lantai beralas tikar. Adikku minum susu aku hanya minum teh.
Adikku makan daging aku hanya diberi ikan asin. Adikku diberi baju yang mahal
dan bagus aku hanya dibelikan baju dari pedagang kaki lima. Jadi apanya yang
sama, tidak ada!
Semua duka yang aku rasakan
hanya aku yang tahu. Ibuku dan saudaraku tetap beranggapan aku adalah anak yang
beruntung, karena tinggal di Jakarta bersama bibi yang bersuami “orang kaya”.
Ibuku dan saudaraku tidak tahu bahwa selama aku di Jakarta aku sering sakit. Dalam
beberapa bulan sekali aku pasti sakit. Sakit yang sering aku alami adalah asma,
sesak nafas, cacingan, buduk dan bisul, cacar, batuk, pilek, panas, ah itu sih
biasa. Pengobatan yang dilakukan hanya ke orang pintar, karena biayanya murah
dengan membayar seikhlasnya. Hanya sesekali aku diajak ke dokter.
Kenapa sakit sering menimpa
aku? Menurut penilaian para tetanggga bibiku, yang menaruh simpati padaku. Bagaimana tidak mudah sakit, aku tidur di lantai hanya beralas tikar dan
tidurnya di depan pintu lagi sehingga mudah masuk angin. Selain itu, katanya
aku sering jajan dengan makanan yang tidak sehat dan aku sering main
kotor-kotoran di got. Semua hal itu aku lakukan dengan tidak sadar, karena aku
hanya ikut-ikutan teman yang melakukan hal yang sama. Bibiku sendiri tidak
pernah memperhatikan hal-hal yang sering aku lakukan.
MENGINJAK USIA PUBER
Ketika usia SMP keluarga
bibiku pindah rumah dari Pasar Rumput ke kawasan Depok. Disinilah aku menjalani
masa remaja. Rumah di Depok ini sudah merupakan milik bibiku sendiri, jadi
sudah tidak ngontrak lagi. Awal-awal menjalani kehidupan di Depok aku merasakan
suasana tidak nyaman, karena aku terlanjur betah tinggal di Pasar Rumput dengan
banyak teman. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Dalam 3 bulan kemudian aku mulai
mendapatkan teman akrab. Baik di sekolah maupun di rumah. Dan yang mempercepat
aku dapat menyesuikan diri di tempat baru, karena aku mulai jatuh cinta kepada
seorang gadis.
Gadis-gadis yang dekat
denganku semasa SMP dan SMU, sebut saja: Devi, Endang, Lilis, Eka, Wati dan
Aya. Kegemaranku saat usia itu adalah nonton film, olah raga dan baca komik
atau novel. Sedangkan kenakalanku adalah suka merokok dan suka onani, but sometime. Adapun keunggulanku adalah
pekerja keras, cerdik, pantang menyerah dan selalu optimis.
Antara kegemaranku,
kenakalanku dan keunggulanku berpadu menjadi satu. Aku hampir tidak mengerti
mana yang baik mana yang buruk. Mana yang salah mana yang benar. Mana yang
bermanfaat mana yang tidak. Mana yang dominan mana yang tidak. Semua aku
lakukan secara simultan. Aku adalah aku, demikian egoku mengatakan saat itu.
Tetapi aku berpendapat masa
remajaku dan masa puberku sama seperti anak-anak lain. Tidak ada yang beda saat menjalani kehidupan
di luar rumah. Suka sama gadis, saling naksir, jatuh hati dan pacaran. Punya
hobi, sedikit nakal tapi tetap punya talenta.
Yang membedakan justru saat berada di dalam rumah. Di rumah seringkali aku serba salah, selalu salah
dan mesti disalahkan. Apa pun pekerjaan yang aku lakukan selalu salah. Dimata
bibiku pekerjaanku tidak ada yang benar, selalu saja salah. “Tidak becus,”
demikian ucap bibiku.
Padahal pekerjaan yang aku
kerjakan adalah pekerjaan rutin yang selalu aku kerjakan dari kecil. Namun di
luar itu masih banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang harus aku lakukan.
Seperti berkebun di halaman belakang dengan menanam cabai, tomat, kemangi,
jahe, lengkoas, kunyit, kencur, selendri. Semua tanaman kebutuhan dapur aku
tanam di halaman belakang rumah. Selain itu setiap ada tukang-tukang yang
datang ke rumah. Seperti Tukang listrik, Tukang bengkel, Tukang bangunan,
Tukang ledeng. Semua tukang-tukang yang melakukan pekerjaan di rumah pasti aku
terlibat secara langsung di dalamnya. Bahkan pekerjaan-pekerjaan dapur pun
sering aku lakukan. Mulai masak, buat kue, cuci piring, cuci pakaian, setrika.
Semua pekerjaan di rumah tidak pernah satu pun luput dari peran aku. Entah itu
aku bisa atau tidak, aku mampu atau tidak, aku mau atau tidak. Dipastikan aku terlibat
di dalam tugas dan pekerjaan itu. Aku seharusnya menjadi orang yang multi
talenta.
Usai melakukan
pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan itu, bibiku punya kebiasaan selalu meminta
aku untuk memijatnya. Dan perintah memijat itu bisa kapan saja dia mau. Bisa
siang, bisa malam, bisa pagi. Waktu yang dibutuhkan untuk memijat pun cukup
lama, bisa 1 – 2 jam lebih. Semua permintaan dan perintah bibiku aku tidak
berani membantah. Aku hanya bisa
tertunduk lesu dengan hati gondok. Paling-paling aku hanya bisa menangis di kamar mandi atau menangis saat
jalan ke luar rumah dengan kepala tertunduk.
BADAI PASTI BERLALU
Sekalipun kehidupanku sangat
berat, melelahkan, menyedihkan dan penuh air mata. Namun sang waktu terus
berjalan, bumi terus berputar dan matahari masih terbit dari timur. Artinya
kehidupan ini apa pun yang aku alami harus tetap dihadapi. Aku tidak mungkin
lari dari kenyataan. Saudara-saudaraku dan ibuku masih tetap menganggap bahwa
aku adalah salah satu anak yang beruntung jika dibandingkan dengan
kakak-kakakku dan adik-adikku. Dan aku pun jika bertemu saudara-saudaraku tidak
pernah menunjukan kesedihanku. Yang aku terima justru kesedihan-kesedihan dari
saudara-saudaraku.
Kakakku yang tinggal di
Cianjur seringkali ribut dengan anak orang tua angkatnya, bahkan kakakku pernah
diusir dari rumah itu. Begitu juga dengan kakakku yang tinggal di Bandung, oleh
orang tua angkatnya, kakakku sering di
adu untuk berkelahi dengan teman sebayanya. Sedangkan adikku yang tinggal
bersama kakek nasibnya juga tidak lebih
baik dari aku. Menurutku yang beruntung justru kakak perempuanku dan adikku
yang bungsu, karena ia tinggal bersama ibuku. Sekalipun ibuku hidup susah
tetapi tetaplah tinggal bersama ibu. Mereka masih dapat merasakan kasih sayang
seorang ibu.
Aku tergolong beruntung
karena masih berkesempatan untuk kuliah.
Saudara-saudaraku tidak ada yang memiliki kesempatan untuk berkuliah. Seiring
dengan meningkatnya kedewasaanku, aku menyadari sepenuhnya bahwa ini ada
peluang emas untukku. Aku tidak boleh menyia-nyikan kesempatan ini. Semua
perlakuan buruk dari bibiku, anak-anak bibiku yang telah kuanggap sebagai adik
aku terima dengan lapang dada. Aku tidak mungkin dapat menuntut perlakukan yang
sama, minta perlakukan yang sama dengan anak-anaknya, karena aku bukan anak
kandungnya. Aku mulai menyadari untuk
hal itu.
Yang aku cita-citakan saat itu
adalah secepatnya menyelesaikan kuliah dan secepatnya pula aku akan
meninggalkan rumah itu. Setiap kali aku berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah aku terima semua ini dengan ikhlas,
semoga hal yang aku rasakan sekarang ini tidak untuk selamanya. Aku percaya
pada-Mu ya Allah, doa orang-orang yang dizolimi seperti aku akan lebih di
dengar oleh-Mu. Ya Allah naikanlah derajatku. Ya Allah berilah aku kekuatan
untuk menjalani semua ini. Ya Allah lancarkanlah kuliahku dan mudahkanlah
segala urusanku agar cepat selesai dan aku tidak lagi menjadi beban keluarga
ini. Ya Allah hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu aku meminta, karena
Engkau Maha Mendengar dan Engkau Maha Mengabulkan. Amin amin ya robbal alamin”. Demikian doaku saat itu.
Aku sabarkan diri untuk
menerima semua yang terjadi di rumah bibiku itu. Perlakukan buruk, omongan
kasar bibiku aku terima sambil mengelus dada.
Omongan bibiku semakin lama justru semakin tidak ada artinya bagiku.
Karena perkataan dan ucapannya sudah tidak logis lagi. Aku dikatakan anak pemalas. Dalam hati aku
berkata lihat saja anak-anaknya sendiri. Diucapkan pula kalau pergi kemana-mana
itu izin dulu. Dalam hati aku berkata itu bukan aku, justru itu adalah
kelakukan anak-anaknya. Dan aku pun sering dikatakan sebagai anak “rupa bodoh tapi tolol”. Serta dikatakan
anak seperti aku itu jangan dikasih betis nanti minta paha. Dalam hati sekali
lagi aku berkata, terserah mau ngomong apa, toh dalam kenyataannya tidak
demikian.
Sampai saat itu, aku sudah
puluhan tahun tinggal bersama bibiku tapi benih-benih rasa sayang, rasa
kebersamaan, rasa sebagai anak sama sekali tidak pernah didapatkan.
Bagaimanakah aku akan menganggap bibiku sebagai orang tua? Dan haruskah aku
berhutang budi?
Dalam memberi biaya sekolah
kepadaku bibiku selalu berhitung. Apakah biaya sekolah yang dikeluarkannya
sebanding dengan hasil pekerjaanku di rumah. Jika tidak maka beban pekerjaanku
akan ditambah. Kalau pun tidak ada kerjaan bibiku akan mencari-cari pekerjaan
untuk aku kerjakan. Cuci seprailah walau seprai itu masih bersih. Cuci
karpetlah walau karpet itu masih bersih. Bongkar-bongkar gudanglah, ada saja
hal-hal yang harus aku kerjakan. Bibiku tidak akan rela kalau aku duduk manis
nonton televisi atau duduk manis baca Koran.
Dalam urusan belajar pun bibiku tidak senang bila aku duduk manis sambil
belajar. Sebaliknya dia akan senang bila aku belajar sambil setrika, dia akan
senang bila aku belajar sambil nyuci baju. Dia akan senang bila aku menghafal
pelajaran sambil ngepel. Dia akan puas
bila melihat aku belajarnya
sambil bekerja. Dan itulah yang aku lakukan. Aku berusaha mengambil hikmah apa
pun dari apa yang tengah terjadi.
Sungguhpun bibiku selalu
memiliki seorang pembantu di rumah. Tetapi sepanjang waktu, sepanjang hari dan sepanjang aku tinggal bersamanya
pekerjaanku selalu lebih berat dari pembantu yang ada di rumah. Jadi alasan
bibiku memberi pekerjaan lebih berat
kepadaku, karena biaya sekolahku lebih besar dari gaji seorang pembantu. Dan bibiku
punya prinsif, kalau pun aku diberi pekerjaan berat aku tidak mungkin pergi
dari rumahnya, sedangkan para pembantu bila tidak betah maka kapan saja ia bisa
pulang. Semenjak itu hingga saat ini aku
masih bertanya-tanya, apakah aku ini dianggap sebagai anak atau sebagai
pembantu?
BEBAS DARI RUMAH
Usai lulus kuliah aku langsung
tancap gas. Aku secepatnya ingin mendapat pekerjaan. Berbagai macam cara, surat
lamaran kerja aku distribusikan. Ada yang lewat pos. Ada yang aku antar sendiri
dimana aku melamar dan ada pula yang lewat teman. Pasca lulus kuliah aku
niatkan dalam hati bahwa aku tidak akan minta uang lagi sama bibiku. Dan aku
berpikir keras, bagaimana caranya agar
aku mendapatkan uang tanpa
meminta dari bibiku.
Dalam memenuhi kebutuhan, aku
ikut membantu teman seorang wartawan yang meliput ke sana ke mari. Seringkali
dari nara sumber aku suka mendapatkan
uang. Aku ikut meliput undangan confrensi pers bersama teman, dari sana pula
aku mendapatkan uang. Hingga akhirnya surat panggilan lamaran kerjaku terima.
Aku diterima kerja tanpa tes, hanya saja saat wawancara aku ditanya siap tidak
untuk bekerja di pedalaman Pulau Kalimantan. Tanpa ragu langsung aku jawab,
“Siap”. Selang 3 hari aku sudah disiapkan tiket pesawat untuk ke Kalimantan.
Sebelum berangkat ke Kalimantan
aku pamitan dengan bibiku. Rasa percaya
diriku meningkat. Rendah diri dan minder dengan sendiri hilang dari diriku.
Bibiku meng-iya-kan. Iyanya tidak bisa aku artikan apa, iya setuju atau iya
terpaksa. Bagiku itu tidak penting. Secara etika sudah aku tunjukan sopan
santunku dengan berpamitan terlebih dahulu. Lebih dari itu hanya Tuhan yang
tahu.
Dalam pesawat aku menangis.
Seumur-umur aku belum pernah pergi dengan pesawat. Seumur-umur yang belum
pernah pergi sejauh ini. Tekadku hanya satu ingin bekerja. Kebetulan juga gaji
yang ditawarkan menurutku sudah sangat besar. Dan aku pun diperbolehkan pulang
ke Jakarta 2 bulan sekali selama 10 hari. Karena di tempat kerjaku tidak ada
hari libur. Sebagai pengganti hari minggu diakumulasi 10 hari itulah sebagai
hari cuti. Alhamdullilah aku panjatkan
puji syukur kehadirat Tuhan yang telah
mengambulkan doa-doaku yang selalu aku panjatkan dikala itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar