Oleh: Yusnadi
Tinggal di rumah dinas sungguh
sangat nyaman. Semua fasilitas telah disediakan oleh perusahaan tempat kita
bekerja. Semua gratis, seperti: Listrik gratis, air gratis, perlengkapan rumah
telah tersedia secara lengkap. Kita hanya tinggal menempati dan menikmati semua
yang telah disediakan. Itulah yang aku rasakan selama 20 tahun ini. Lantas apa
yang terjadi selanjutnya?
Aku awali saja, 20 tahun yang
lalu ketika aku masuk bekerja di perusahaan itu statusku masih bujang.
Perusahaan tempat aku bekerja memang tergolong di daerah pedalaman. Jika
ditempuh dari Kota Bandar Lampung, membutuhkan waktu sekitar 7 – 8 jam untuk
sampai ke lokasi tempat aku bekerja. Di sana aku diberi fasilitas rumah dinas
sesuai dengan jabatan.
Jika jabatan staf dengan status single diberi fasilitas rumah bersama, untuk 4 – 6 orang di rumah
T36. Sedangkan jika jabatan Kepala Seksi
dengan status single tinggal di rumah
bersama untuk 2 orang. Jika sudah berkeluarga dengan jabatan Kepala Seksi maka
diberi rumah dinas T36 untuk tinggal bersama istri. Begitu seterusnya secara
berjenjang. Fasilitas rumah diberikan sesuai dengan jabatan. Dan jabatan diperoleh sesuai dengan prestasi.
Setelah dua tahun bekerja, aku
mempersunting seorang gadis untuk kujadikan istri. Dan seiring dengan itu
secara berjenjang jabatanku mulai naik. Aku mendapatkan fasilitas rumah dinas
T36 untuk ditinggali bersama istri. Tahun demi tahun kujalani kehidupan itu
dengan baik-baik saja, hingga akhirnya aku pun menjabat sebagai seorang manajer
dengan memperoleh fasilitas rumah dinas T45 untuk ditinggali bersama istri.
Anak-anak pun dapat bersekolah
dengan baik. Semua sekolah yang berada di daerah itu, baik negeri maupun swasta
mendapatkan bantuan dari perusahaan. Entah itu berupa sarana sekolahnya maupun
guru-gurunya yang selalu mendapatkan insentif dari perusahaan.
Tahun demi tahun berlalu, pimpinan
perusahaan silih datang berganti.
Berganti pimpinan kecenderungannya berubah pula kebijakan yang diberikan
perusahaan. Beberapa kasus sebetulnya dapat aku jadikan pelajaran sebagai
contoh, karena sudah beberapa kali pula perusahaan mem-PHK karyawan sekalipun
dalam jumlah yang terbatas.
Saat itu aku tidak peka dan
nasibku masih beruntung. Sekalipun terjadi PHK karyawan aku bukan merupakan
salah satu diantaranya. Sehingga kehidupan keluargaku tetap baik-baik saja. Aku
merasakan keindahan dan ketenangan keluarga hingga aku dikarunia 4 orang anak selama
18 tahun berumah tangga.
Hingga akhirnya menginjak
tahun ke-20 terjadilah keguncangan pada keluargaku. Aku ter-PHK. Yang lebih menyakitkanku adalah uang pesangon
yang aku terima tidak sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku. Aku
hanya mendapatkan pesangon sebesar 0,7 dari yang seharusnya sebesar 2 kali PMTK
(Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Tapi aku dan seluruh karyawan tidak bisa
berbuat banyak, karena kondisi perusahaan rugi dan operasional perusahaan pun
tutup.
Selanjutnya apa yang terjadi?
Dengan pesangon sebesar itu, aku tidak bisa berbuat banyak. Sementara aku belum
punya rumah, apalagi isi rumahnya. Akhirnya aku kembali tinggal di rumah orang
tua. Saat itu pertimbanganku hanya 2, apakah uang itu akan digunakan sebagai
modal usaha dengan konsekuensi tinggal di rumah orang tua. Ataukah uang itu
akan aku gunakan untuk membeli rumah dengan konsekuansi tidak punya modal untuk
usaha.
Akhirnya keputusanku bersama
istri, uang itu aku gunakan untuk membeli rumah. Sedangkan untuk kebutuhan
sehari-hari akan aku pikirkan sambil berjalan. Setelah aku membeli rumah dan menempati bersama istri
dan keempat anakku, aku merenung dan berpikir keras apa yang bisa aku
lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku pun intropeksi diri, apa yang
salah dengan aku?
Sudah 20 tahun bekerja namun belum
memiliki rumah. Rumah yang aku tempati saat ini, baru berisi kasur-kasur busa
tanpa tempat tidur. Segala perabotan rumah tangga belum aku miliki. Rasanya aku
seperti pengantin yang baru memiliki rumah. Kalau hal ini terjadi 15 tahun yang
lalu, aku makhlum. Tapi itu terjadi saat ini, saat aku telah 20 tahun berumah
tangga dan sudah dikarunia 4 orang anak.
Aku berpikir, tidak boleh
berlama-lama berkeluh kesah. Semampuku aku mulai berikhtiar. Beberapa teman
mulai aku hubungi, barangkali ada informasi mengenai pekerjaan untukku. Aku pun
tidak bosan-bosan mencari beberapa peluang, apa yang bisa aku lakukan. Istri
pun aku beri motivasi untuk melakukan
sesuatu yang bisa dilakukan.
Setelah beberapa bulan
berlalu, Alhamdullilah Tuhan Maha
Mencukupi, sekalipun kebutuhan sehari-hariku jauh dari mewah, tetapi dirasa
cukup untuk keluargaku. Sekalipun anak-anakku berangkat sekolah dengan berjalan
kaki atau kadang-kadang naik angkot. Aku yakin kehidupan seperti aku bukan
hanya aku. Paling tidak aku dapat mengetahui bahwa mantan teman-teman sekerja pun banyak yang seperti aku. Ternyata kami semua berpendapat sama bahwa
kami selama ini terlalu terbuai dengan fasilitas yang diberikan perusahaan.
Sehingga kami selalu menunda untuk membeli rumah, selalu menunda-nunda untuk
membeli kebutuhan rumah tangga.
Kami tidak pernah berpikir
bahwa perusahaan tempat kami bekerja
akan tutup dan bangkrut. Karena kami sebelumnya percaya bahwa perusahaan tempat
kami bekerja adalah perusahaan besar dan memiliki banyak anak perusahaan.
Paling tidak kalau perusahaan ini tutup akan di mutasi ke perusahaan lain.
Ternyata perkiraan kami salah. Kalau pun ada yang di mutasi ke tempat lain,
tidaklah lebih dari 10% dari 5000 karyawan di perusahaan asal tempat kami
bekerja.
Kepada pembaca Sekar, kami hanya mengingatkan
hati-hati jangan terbuai oleh fasilitas rumah dinas karena rumah itu tidak
selamanya kita miliki. Sekalipun kita menikmati rumah dinas itu, kita tetap
harus menyisihkan sebagian dari hasil kerja
untuk ditabung, paling tidak bagi yang sudah berkeluarga rumah untuk
diprioritaskan. ***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar