Oleh: Yusnadi
Hari Raya Idul Fitri untuk bangsa
Indonesia
identik dengan mudik. Mudik lebaran rasanya dari tahun ke tahun tetap merupakan
peristiwa sosial yang terspektakuler. Dalam kondisi apa pun, bagaimana pun,
seburuk apa pun, karena ini mengandung budaya dan tradisi yang mengakar, sehingga
tekad “aku harus mudik” pun meluncur dari hatinya.
Peristiwa hari kemenangan bagi
umat Islam ini merupakan peristiwa sosial superkolosal yang melibatkan rakyat Indonesia
dari Sabang sampai Marauke. Dari segala penjuru, dari berbagai pulau, dari
berbagai kota
secara berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya. Tak terkecuali dari
kawasan Pond Site CP Bahari ini, iya kan ?
Layaknya sebuah pertunjukan,
peristiwa mudik lebaran ini cukup mengurus isi kantong maupun saldo kita di
Bank. Lonjakan harga karcis angkutan, antrian panjang di loket karcis,
kemacetan, kecelakaan, berdesakan dalam kereta, bus, kapal, oleh-oleh untuk
sanak keluarga, THR, kecemasan pada
rumah yang ditinggalkan dan sebagainya. Bahkan bukan hanya biaya tetapi
juga waktu dan tenaga memaksa kita untuk terbawa arus di dalamnya.
Dengan segala kenaikkan harga di
saat menjelang lebaran, seringkali pula dijadikan arena kesempatan bagi pelaku
usaha. Muncul naluri-naluri kapitalistiknya, kemaruk dan mereguk laba
sebanyak-banyaknya.
Begitulah peristiwa demi
peristiwa dalam kisah mudik lebaran, kita tidak bisa menolaknya. Satu hal yang
mungkin perlu diingatkan, bahwa lebaran
adalah peristiwa religius. Mudik, tujuannya adalah silaturahmi, maaf-memaafkan
dan suka cita atas segala kehidupan yang kita jalani selama setahun. Di
dalamnya pasti ada keriangan, ada kesedihan, optimistik dan pesimistik. Semua
terjadi, dan terjadi sebagai suatu keharusan bagi masyarakat kita di Indonesia .
Risalah sosiologi merumuskan bahwa
manusia Indonesia umumnya sebagai
manusia cummuter culture (pejalan
budaya), manusia yang bergerak dari kampung ke kota tanpa melepaskan ikatan dengan
kampungnya. Ini tak sekedar risalah intelektual yang abstrak, tetapi fakta yang dapat disaksikan
dengan mata telanjang. Kongkrit.
Contoh paling nyata adalah para
pembantu rumah tangga dan buruh pabrik di kota
yang terpasok dari kampung. Mereka selalu pulang kampung pada saat tertentu
atau mudik setiap lebaran. Dan itu tak terkecuali bagi kita yang ada di sini, termasuk di dalamnya.
Mudik tak pandang bulu, tak
mengenal batasan kelas sosial. Presiden, Jenderal, Politikus, Artis, Nelayan,
pedagang semua mudik. Para “jalan budaya” itu
bagaikan para Malin Kundang yang tak pernah durhaka, mereka rindu mencium
“tangan” kampung halaman setiap lebaran.
Mereka menyelenggarakan ritus
sosial-spiritual dengan menemui tempat muasal, berziarah sejenak, kemudian
berbondong kembali ke kota
untuk menjadi para homoeconomicus (pencari nafkah kehidupan) yang tak kenal lelah
memerah peluh demi memenuhi kebutuhannya. Ada
yang menggerakkan lap pel di rumah-rumah mewah, menjadi pekerja di
pabrik-pabrik, menjalani aktifitas rutin di kantor, shooting bagi para aktor/aktris, konsolidasi bagi partai-partai dan melaut kembali bagi para
nelayan. Lalu tahun depan
berbondong-bondong kembali ke kampung halaman, begitu seterusnya.
Kisah lebaran dan mudik ini terus
berulang setiap tahun. Tak pernah kapok. Tak perduli harga tiket naik, tak
perduli kereta api dijejal, tak perduli kemacetan terjadi sepanjang jalan. Yang
penting mudik. Menjejakkan kaki di tanah kampung halaman untuk bertemu sanak
keluarga, memindahkan uang dari kota ke kampung
untuk modal atau mengembangkan usaha, mengajak para tetangga yang nganggur
untuk bekerja di kota
atau “sekedar pamer tampang kesuksesan
setelah sekian waktu meninggalkan kampung halaman”. (Semoga kita tidak termasuk di dalam kalimat terakhir yang diberi tanda petik). Itulah
romantika mudik lebaran. Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1429 hijriah, maaf lahir
bahtin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar