Sabtu, 10 Desember 2011

Hati-hati Jangan Terbuai Dengan Rumah Dinas

Oleh: Yusnadi

Tinggal di rumah dinas sungguh sangat nyaman. Semua fasilitas telah disediakan oleh perusahaan tempat kita bekerja. Semua gratis, seperti: Listrik gratis, air gratis, perlengkapan rumah telah tersedia secara lengkap. Kita hanya tinggal menempati dan menikmati semua yang telah disediakan. Itulah yang aku rasakan selama 20 tahun ini. Lantas apa yang terjadi selanjutnya?

Aku awali saja, 20 tahun yang lalu ketika aku masuk bekerja di perusahaan itu statusku masih bujang. Perusahaan tempat aku bekerja memang tergolong di daerah pedalaman. Jika ditempuh dari Kota Bandar Lampung, membutuhkan waktu sekitar 7 – 8 jam untuk sampai ke lokasi tempat aku bekerja. Di sana aku diberi fasilitas rumah dinas sesuai dengan jabatan.

Jika jabatan staf dengan status single diberi fasilitas rumah bersama, untuk 4 – 6 orang di rumah T36.  Sedangkan jika jabatan Kepala Seksi dengan status single tinggal di rumah bersama untuk 2 orang. Jika sudah berkeluarga dengan jabatan Kepala Seksi maka diberi rumah dinas T36 untuk tinggal bersama istri. Begitu seterusnya secara berjenjang. Fasilitas rumah diberikan sesuai dengan jabatan. Dan jabatan  diperoleh sesuai dengan prestasi.

Setelah dua tahun bekerja, aku mempersunting seorang gadis untuk kujadikan istri. Dan seiring dengan itu secara berjenjang jabatanku mulai naik. Aku mendapatkan fasilitas rumah dinas T36 untuk ditinggali bersama istri. Tahun demi tahun kujalani kehidupan itu dengan baik-baik saja, hingga akhirnya aku pun menjabat sebagai seorang manajer dengan memperoleh fasilitas rumah dinas T45 untuk ditinggali bersama istri.

Anak-anak pun dapat bersekolah dengan baik. Semua sekolah yang berada di daerah itu, baik negeri maupun swasta mendapatkan bantuan dari perusahaan. Entah itu berupa sarana sekolahnya maupun guru-gurunya yang selalu mendapatkan insentif dari perusahaan.

Tahun demi tahun berlalu, pimpinan perusahaan  silih datang berganti. Berganti pimpinan kecenderungannya berubah pula kebijakan yang diberikan perusahaan. Beberapa kasus sebetulnya dapat aku jadikan pelajaran sebagai contoh, karena sudah beberapa kali pula perusahaan mem-PHK karyawan sekalipun dalam jumlah yang terbatas.

Saat itu aku tidak peka dan nasibku masih beruntung. Sekalipun terjadi PHK karyawan aku bukan merupakan salah satu diantaranya. Sehingga kehidupan keluargaku tetap baik-baik saja. Aku merasakan keindahan dan ketenangan keluarga hingga aku dikarunia 4 orang anak selama 18 tahun berumah tangga.

Hingga akhirnya menginjak tahun ke-20 terjadilah keguncangan pada keluargaku. Aku ter-PHK.  Yang lebih menyakitkanku adalah uang pesangon yang aku terima tidak sebagaimana aturan perundang-undangan yang berlaku. Aku hanya mendapatkan pesangon sebesar 0,7 dari yang seharusnya sebesar 2 kali PMTK (Peraturan Menteri Tenaga Kerja). Tapi aku dan seluruh karyawan tidak bisa berbuat banyak, karena kondisi perusahaan rugi dan operasional perusahaan pun tutup.

Selanjutnya apa yang terjadi? Dengan pesangon sebesar itu, aku tidak bisa berbuat banyak. Sementara aku belum punya rumah, apalagi isi rumahnya. Akhirnya aku kembali tinggal di rumah orang tua. Saat itu pertimbanganku hanya 2, apakah uang itu akan digunakan sebagai modal usaha dengan konsekuensi tinggal di rumah orang tua. Ataukah uang itu akan aku gunakan untuk membeli rumah dengan konsekuansi tidak punya modal untuk usaha.

Akhirnya keputusanku bersama istri, uang itu aku gunakan untuk membeli rumah. Sedangkan untuk kebutuhan sehari-hari akan aku pikirkan sambil berjalan. Setelah aku membeli rumah dan menempati  bersama istri  dan keempat anakku, aku merenung dan berpikir keras apa yang bisa aku lakukan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Aku pun intropeksi diri, apa yang salah dengan aku?

Sudah 20 tahun bekerja namun belum memiliki rumah. Rumah yang aku tempati saat ini, baru berisi kasur-kasur busa tanpa tempat tidur. Segala perabotan rumah tangga belum aku miliki. Rasanya aku seperti pengantin yang baru memiliki rumah. Kalau hal ini terjadi 15 tahun yang lalu, aku makhlum. Tapi itu terjadi saat ini, saat aku telah 20 tahun berumah tangga  dan sudah dikarunia 4 orang anak.

Aku berpikir, tidak boleh berlama-lama berkeluh kesah. Semampuku aku mulai berikhtiar. Beberapa teman mulai aku hubungi, barangkali ada informasi mengenai pekerjaan untukku. Aku pun tidak bosan-bosan mencari beberapa peluang, apa yang bisa aku lakukan. Istri pun  aku beri motivasi untuk melakukan sesuatu yang bisa dilakukan.

Setelah beberapa bulan berlalu, Alhamdullilah Tuhan Maha Mencukupi, sekalipun kebutuhan sehari-hariku jauh dari mewah, tetapi dirasa cukup untuk keluargaku. Sekalipun anak-anakku berangkat sekolah dengan berjalan kaki atau kadang-kadang naik angkot. Aku yakin kehidupan seperti aku bukan hanya aku. Paling tidak aku dapat mengetahui bahwa mantan teman-teman sekerja  pun banyak yang seperti aku.  Ternyata kami semua berpendapat sama bahwa kami selama ini terlalu terbuai dengan fasilitas yang diberikan perusahaan. Sehingga kami selalu menunda untuk membeli rumah, selalu menunda-nunda untuk membeli kebutuhan rumah tangga.

Kami tidak pernah berpikir bahwa  perusahaan tempat kami bekerja akan tutup dan bangkrut. Karena kami sebelumnya percaya bahwa perusahaan tempat kami bekerja adalah perusahaan besar dan memiliki banyak anak perusahaan. Paling tidak kalau perusahaan ini tutup akan di mutasi ke perusahaan lain. Ternyata perkiraan kami salah. Kalau pun ada yang di mutasi ke tempat lain, tidaklah lebih dari 10% dari 5000 karyawan di perusahaan asal tempat kami bekerja.
Kepada pembaca Sekar, kami hanya mengingatkan hati-hati jangan terbuai oleh fasilitas rumah dinas karena rumah itu tidak selamanya kita miliki. Sekalipun kita menikmati rumah dinas itu, kita tetap harus menyisihkan sebagian dari hasil kerja  untuk ditabung, paling tidak bagi yang sudah berkeluarga rumah untuk diprioritaskan. ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar