Sabtu, 10 Desember 2011

Cerpen: Jadi sebetulnya yang Pembantu itu Dia atau Aku

Oleh : Yusnadi

Di rumah bibiku selalu ada pembantu, tetapi kenapa aku yang menanggung berat semua pekerjaan rumah. “Kalau pembantu diberi pekerjaan berat nanti dia tidak akan betah, sedangkan aku sekalipun diberi pekerjaan berat tidak mungkin pergi dari rumah ini,” demikian prinsif bibiku. Sehingga aku bertanya-tanya dalam hati, sebetulnya yang pembantu itu dia atau aku?
_______________________________

Tinggal bersama saudara sekalipun itu saudara dekat tetap saja berbeda dibandingkan dengan orang tua kandung. Dari kecil, semanjak aku menginjak usia sekolah aku tinggal bersama bibi (Adik dari orang tuaku). Aku merupakan anak kelima dari 7 saudara. Dua kakak perempuan, 2 kakak laki-laki dan 2 adikku  laki-laki. Semenjak orang tuaku membina rumah tangga, kami sekeluarga tidak pernah berkumpul sebagai keluarga yang utuh.

Anak pertama lahir, begitu menginjak usia sekolah kakakku diambil sebagai anak angkat oleh saudaraku yang tinggal di Cianjur.  Anak kedua terlahir perempuan tinggal bersama ibu di Sukabumi. Anak ketiga terlahir perempuan diambil sebagai anak angkat oleh saudaraku  dan tinggal di Jampang Kulon. Anak keempat lahir laki-laki, begitu menginjak usia sekolah diambil oleh saudaraku yang tinggal di Bandung. Dan aku sebagai anak kelima, ketika masuk usia sekolah diambil sebagai anak angkat oleh bibiku dan tinggal di Jakarta.  Sementara adikku, sebagai anak keenam diambil oleh kakekku dan tinggal di Pelabuhan Ratu. Dan si bungsu, anak ketujuh dia tinggal bersama ibuku di Sukabumi.

Jadi yang tinggal bersama ibuku hanya dua, yaitu kakakku yang perempuan dan adikku yang paling kecil. Sedangkan yang lainnya diambil oleh bibiku, pamanku dan seorang diambil oleh kakekku. Semenjak kecil aku tidak begitu mengenal kakak-kakakku dan adik-adikku. Tapi aku tahu bahwa aku punya kakak dan adik yang tinggal di Sukabumi, di Bandung, di Pelabuhan Ratu dan di Jampang Kulon. Tetapi kami tidak pernah berkumpul sebagai keluarga yang sempurna.

Pernah pada suatu hari di perjalanan dalam satu bus, aku melihat kakakku duduk di belakang dan aku duduk agak depan. Kami hanya saling memandang dan tersenyum tanpa mengeluarkan kata-kata. Tapi kontak bathin kami aku rasakan telah saling menyapa. Kakakku berada disamping ayah angkatnya. Begitu juga aku berada disamping ayah angkatku. Kejadian seperti itu aku ingat hingga kini, karena terasa aneh. Seharusnya ayah angkatku dan ayah angkat kakakku paling tidak saling menyapa dan bersalaman tapi ini tidak sama sekali.

Kenapa hal itu tidak mereka lakukan? Aku tidak tahu, karena ketika itu aku masih berusia 5 tahun sedangkan kakakku 7 tahun. Kami sekeluarga dengan 7 bersaudara ini tidak pernah bertemu dalam satu pertemuan yang sama. Tidak pernah saling komunikasi sekalipun kami sama-sama tahu bahwa dia kakakku, bahwa dia adikku. Kalaupun kami bertemu dan berkomunikasi nyaris seperti bertemu dengan teman saya. Hallo, hai, apa kabar dan selesai.

Kenapa hal itu terjadi? Aku berpendapat karena ini pengaruh dari orang tua angkat masing-masing. Aku sendiri kurang begitu mengenal  sosok ayahku. Aku lupa-lupa ingat wajah dari ayahku selain foto hitam putih yang dipajang oleh ibu. “Itu foto ayah, cuma satu itu yang ibu punya,” demikian ucap ibu menunjuk foto ayah. Sedangkan yang aku ingat hanya beberapa peristiwa saja yang berkaitan dengan ayah. Pertama, yang aku ingat adalah ketika aku dibelikan baju baru oleh Ayah saat lebaran. Kedua, saat digendong di malam hari ketika berangkat dari rumah kakek untuk pulang ke rumah. Dan ketiga, saat ayahku terbaring sakit dan langsung menghembuskan nafas terakhirnya. Saat itu aku berusia 4 tahun dan dipanggil oleh kakek untuk masuk kamar  bersama kakak-kakakku yang lain. Dan seingatku saat ayah meninggal, ibuku tidak di sana. Di luar itu aku tidak ingat peristiwa apa yang terjadi antara aku dan ayah. Sedangkan kedua adikku sama sekali tidak mengenal ayahnya.

TINGGAL BERSAMA BIBI
Sesudah ayah meninggal aku tinggal bersama bibi. Bibiku tidak hanya satu, aku tinggal bersama bibi yang satu dan berpindah  kepada bibi yang lain. Sementara para bibiku dan pamanku juga belum punya rumah sendiri-sendiri. Semua para bibiku masih  tinggal di rumah kontrakan, baik yang tinggal di Sukabumi, di Bandung maupun di Jakarta. Bibiku ketika pertama pindah ke Jakarta ngontrak di daerah Menteng Atas, kemudian pindah ke Minangkabau dan selanjutnya pindah lagi ke daerah Pasar Rumput.

Saudara-saudaraku menilai aku anak yang beruntung, karena tinggal bersama bibi yang baik dan punya masa depan yang bagus. Aku saat itu tidak paham apa maksudnya. Yang aku tahu dan yang aku rasakan adalah aku tinggal di sebuah rumah kontrakan yang tidak besar. Bibiku telah mempunyai seorang anak perempuan. Anak bibiku dan aku selisih umur 5 tahun. Tugasku sehari-hari diantaranya adalah menjaga dia dan mengajak bermain dia.

Di luar momong aku juga memiliki tugas dan tanggung jawab bersih-bersih rumah. Mulai dari membereskan tempat tidur, lap-lap meja dan lemari, nyapu, ngepel dan nimba air. Selesai melakukan pekerjaan rumah, tugas lain adalah ke pasar. Setiap hari aku ke pasar untuk belanja dengan catatan yang telah ditulis oleh bibiku.

Bertahun-tahun aku menjalani kehidupan itu tanpa beban. Karena aku belum mengerti hidup yang aku jalani itu harus bagaimana. Sehingga aku tidak merasakan hal yang berbeda dari perlakuan bibiku. Aku masih diberi kesempatan bersekolah di siang hari. Aku masih diberi waktu untuk bermain sekalipun harus sambil menjaga anaknya, yang aku anggap sebagai adikku.  Dia selalu aku jaga dan aku bela jika terjadi keributan dengan teman-teman seusianya. Bahkan aku rela berkelahi dengan kakaknya bila adikku dibuatnya nangis.

Pembelaan tanpa batas olehku atas anak  bibiku tidak selaras dengan sikap bibiku terhadap aku. Bibiku sangat jelas membedakannya antara aku dan anak kandungnya. Padahal bibiku pada saudara-saudaraku dan pada orang tuaku selalu mengatakan bahwa aku sudah dianggap seperti anaknya. Tidak membeda-bedakan. Tetapi kenyataannya jauh berbeda. Aku sangat merasakan perbedaan itu. Adikku tidur di spring bad aku tidur di lantai beralas tikar. Adikku minum susu aku hanya minum teh. Adikku makan daging aku hanya diberi ikan asin. Adikku diberi baju yang mahal dan bagus aku hanya dibelikan baju dari pedagang kaki lima. Jadi apanya yang sama, tidak ada!

Semua duka yang aku rasakan hanya aku yang tahu. Ibuku dan saudaraku tetap beranggapan aku adalah anak yang beruntung, karena tinggal di Jakarta bersama bibi yang bersuami “orang kaya”. Ibuku dan saudaraku tidak tahu bahwa selama aku di Jakarta aku sering sakit. Dalam beberapa bulan sekali aku pasti sakit. Sakit yang sering aku alami adalah asma, sesak nafas, cacingan, buduk dan bisul, cacar, batuk, pilek, panas, ah itu sih biasa. Pengobatan yang dilakukan hanya ke orang pintar, karena biayanya murah dengan membayar seikhlasnya. Hanya sesekali aku diajak ke dokter.

Kenapa sakit sering menimpa aku? Menurut penilaian para tetanggga bibiku, yang menaruh simpati padaku.  Bagaimana tidak mudah sakit, aku  tidur di lantai hanya beralas tikar dan tidurnya di depan pintu lagi sehingga mudah masuk angin. Selain itu, katanya aku sering jajan dengan makanan yang tidak sehat dan aku sering main kotor-kotoran di got. Semua hal itu aku lakukan dengan tidak sadar, karena aku hanya ikut-ikutan teman yang melakukan hal yang sama. Bibiku sendiri tidak pernah memperhatikan hal-hal yang sering aku lakukan.

MENGINJAK USIA PUBER
Ketika usia SMP keluarga bibiku pindah rumah dari Pasar Rumput ke kawasan Depok. Disinilah aku menjalani masa remaja. Rumah di Depok ini sudah merupakan milik bibiku sendiri, jadi sudah tidak ngontrak lagi. Awal-awal menjalani kehidupan di Depok aku merasakan suasana tidak nyaman, karena aku terlanjur betah tinggal di Pasar Rumput dengan banyak teman. Tetapi itu tidak berlangsung lama. Dalam 3 bulan kemudian aku mulai mendapatkan teman akrab. Baik di sekolah maupun di rumah. Dan yang mempercepat aku dapat menyesuikan diri di tempat baru, karena aku mulai jatuh cinta kepada seorang gadis.

Gadis-gadis yang dekat denganku semasa SMP dan SMU, sebut saja: Devi, Endang, Lilis, Eka, Wati dan Aya. Kegemaranku saat usia itu adalah nonton film, olah raga dan baca komik atau novel. Sedangkan kenakalanku adalah suka merokok dan suka onani, but sometime. Adapun keunggulanku adalah pekerja keras, cerdik, pantang menyerah dan selalu optimis.
Antara kegemaranku, kenakalanku dan keunggulanku berpadu menjadi satu. Aku hampir tidak mengerti mana yang baik mana yang buruk. Mana yang salah mana yang benar. Mana yang bermanfaat mana yang tidak. Mana yang dominan mana yang tidak. Semua aku lakukan secara simultan. Aku adalah aku, demikian egoku mengatakan saat itu.

Tetapi aku berpendapat masa remajaku dan masa puberku sama seperti anak-anak lain.  Tidak ada yang beda saat menjalani kehidupan di luar rumah. Suka sama gadis, saling naksir, jatuh hati dan pacaran. Punya hobi, sedikit nakal tapi tetap punya talenta.  Yang membedakan justru saat berada di dalam rumah. Di  rumah seringkali aku serba salah, selalu salah dan mesti disalahkan. Apa pun pekerjaan yang aku lakukan selalu salah. Dimata bibiku pekerjaanku tidak ada yang benar, selalu saja salah. “Tidak becus,” demikian ucap bibiku.

Padahal pekerjaan yang aku kerjakan adalah pekerjaan rutin yang selalu aku kerjakan dari kecil. Namun di luar itu masih banyak sekali pekerjaan-pekerjaan yang harus aku lakukan. Seperti berkebun di halaman belakang dengan menanam cabai, tomat, kemangi, jahe, lengkoas, kunyit, kencur, selendri. Semua tanaman kebutuhan dapur aku tanam di halaman belakang rumah. Selain itu setiap ada tukang-tukang yang datang ke rumah. Seperti Tukang listrik, Tukang bengkel, Tukang bangunan, Tukang ledeng. Semua tukang-tukang yang melakukan pekerjaan di rumah pasti aku terlibat secara langsung di dalamnya. Bahkan pekerjaan-pekerjaan dapur pun sering aku lakukan. Mulai masak, buat kue, cuci piring, cuci pakaian, setrika. Semua pekerjaan di rumah tidak pernah satu pun luput dari peran aku. Entah itu aku bisa atau tidak, aku mampu atau tidak, aku mau atau tidak. Dipastikan aku terlibat di dalam tugas dan pekerjaan itu. Aku seharusnya menjadi orang yang multi talenta.

Usai melakukan pekerjaan-pekerjaan yang melelahkan itu, bibiku punya kebiasaan selalu meminta aku untuk memijatnya. Dan perintah memijat itu bisa kapan saja dia mau. Bisa siang, bisa malam, bisa pagi. Waktu yang dibutuhkan untuk memijat pun cukup lama, bisa 1 – 2 jam lebih. Semua permintaan dan perintah bibiku aku tidak berani  membantah. Aku hanya bisa tertunduk lesu dengan hati gondok. Paling-paling  aku hanya bisa  menangis di kamar mandi atau menangis saat jalan ke luar rumah dengan kepala tertunduk.

BADAI PASTI BERLALU
Sekalipun kehidupanku sangat berat, melelahkan, menyedihkan dan penuh air mata. Namun sang waktu terus berjalan, bumi terus berputar dan matahari masih terbit dari timur. Artinya kehidupan ini apa pun yang aku alami harus tetap dihadapi. Aku tidak mungkin lari dari kenyataan. Saudara-saudaraku dan ibuku masih tetap menganggap bahwa aku adalah salah satu anak yang beruntung jika dibandingkan dengan kakak-kakakku dan adik-adikku. Dan aku pun jika bertemu saudara-saudaraku tidak pernah menunjukan kesedihanku. Yang aku terima justru kesedihan-kesedihan dari saudara-saudaraku.

Kakakku yang tinggal di Cianjur seringkali ribut dengan anak orang tua angkatnya, bahkan kakakku pernah diusir dari rumah itu. Begitu juga dengan kakakku yang tinggal di Bandung, oleh orang tua angkatnya, kakakku  sering di adu untuk berkelahi dengan teman sebayanya. Sedangkan adikku yang tinggal bersama kakek nasibnya juga tidak  lebih baik dari aku. Menurutku yang beruntung justru kakak perempuanku dan adikku yang bungsu, karena ia tinggal bersama ibuku. Sekalipun ibuku hidup susah tetapi tetaplah tinggal bersama ibu. Mereka masih dapat merasakan kasih sayang seorang  ibu.

Aku tergolong beruntung karena  masih berkesempatan untuk kuliah. Saudara-saudaraku tidak ada yang memiliki kesempatan untuk berkuliah. Seiring dengan meningkatnya kedewasaanku, aku menyadari sepenuhnya bahwa ini ada peluang emas untukku. Aku tidak boleh menyia-nyikan kesempatan ini. Semua perlakuan buruk dari bibiku, anak-anak bibiku yang telah kuanggap sebagai adik aku terima dengan lapang dada. Aku tidak mungkin dapat menuntut perlakukan yang sama, minta perlakukan yang sama dengan anak-anaknya, karena aku bukan anak kandungnya. Aku mulai menyadari  untuk hal itu.

Yang aku cita-citakan saat itu adalah secepatnya menyelesaikan kuliah dan secepatnya pula aku akan meninggalkan rumah itu. Setiap kali aku berdoa kepada Tuhan, “Ya Allah aku terima semua ini dengan ikhlas, semoga hal yang aku rasakan sekarang ini tidak untuk selamanya. Aku percaya pada-Mu ya Allah, doa orang-orang yang dizolimi seperti aku akan lebih di dengar oleh-Mu. Ya Allah naikanlah derajatku. Ya Allah berilah aku kekuatan untuk menjalani semua ini. Ya Allah lancarkanlah kuliahku dan mudahkanlah segala urusanku agar cepat selesai dan aku tidak lagi menjadi beban keluarga ini. Ya Allah hanya kepada-Mu aku memohon dan hanya kepada-Mu aku meminta, karena Engkau Maha Mendengar dan Engkau Maha Mengabulkan. Amin amin ya robbal  alamin”. Demikian doaku saat itu.

Aku sabarkan diri untuk menerima semua yang terjadi di rumah bibiku itu. Perlakukan buruk, omongan kasar bibiku aku terima sambil mengelus dada.  Omongan bibiku semakin lama justru semakin tidak ada artinya bagiku. Karena perkataan dan ucapannya sudah tidak logis lagi.  Aku dikatakan anak pemalas. Dalam hati aku berkata lihat saja anak-anaknya sendiri. Diucapkan pula kalau pergi kemana-mana itu izin dulu. Dalam hati aku berkata itu bukan aku, justru itu adalah kelakukan anak-anaknya. Dan aku pun sering  dikatakan  sebagai anak “rupa bodoh tapi tolol”. Serta dikatakan anak seperti aku itu jangan dikasih betis nanti minta paha. Dalam hati sekali lagi aku berkata, terserah mau ngomong apa, toh dalam kenyataannya tidak demikian.

Sampai saat itu, aku sudah puluhan tahun tinggal bersama bibiku tapi benih-benih rasa sayang, rasa kebersamaan, rasa sebagai anak sama sekali tidak pernah didapatkan. Bagaimanakah aku akan menganggap bibiku sebagai orang tua? Dan haruskah aku berhutang budi?  

Dalam memberi biaya sekolah kepadaku bibiku selalu berhitung. Apakah biaya sekolah yang dikeluarkannya sebanding dengan hasil pekerjaanku di rumah. Jika tidak maka beban pekerjaanku akan ditambah. Kalau pun tidak ada kerjaan bibiku akan mencari-cari pekerjaan untuk aku kerjakan. Cuci seprailah walau seprai itu masih bersih. Cuci karpetlah walau karpet itu masih bersih. Bongkar-bongkar gudanglah, ada saja hal-hal yang harus aku kerjakan. Bibiku tidak akan rela kalau aku duduk manis nonton televisi atau duduk manis baca Koran.  Dalam urusan belajar pun bibiku tidak senang bila aku duduk manis sambil belajar. Sebaliknya dia akan senang bila aku belajar sambil setrika, dia akan senang bila aku belajar sambil nyuci baju. Dia akan senang bila aku menghafal pelajaran sambil ngepel. Dia akan puas   bila melihat  aku belajarnya sambil bekerja. Dan itulah yang aku lakukan. Aku berusaha mengambil hikmah apa pun dari apa yang tengah terjadi.

Sungguhpun bibiku selalu memiliki seorang pembantu di rumah. Tetapi  sepanjang waktu, sepanjang  hari dan sepanjang aku tinggal bersamanya pekerjaanku selalu lebih berat dari pembantu yang ada di rumah. Jadi alasan bibiku memberi pekerjaan  lebih berat kepadaku, karena biaya sekolahku lebih besar dari gaji seorang pembantu. Dan bibiku punya prinsif, kalau pun aku diberi pekerjaan berat aku tidak mungkin pergi dari rumahnya, sedangkan para pembantu bila tidak betah maka kapan saja ia bisa pulang. Semenjak  itu hingga saat ini aku masih bertanya-tanya, apakah aku ini dianggap sebagai anak atau sebagai pembantu?

BEBAS DARI RUMAH
Usai lulus kuliah aku langsung tancap gas. Aku secepatnya ingin mendapat pekerjaan. Berbagai macam cara, surat lamaran kerja aku distribusikan. Ada yang lewat pos. Ada yang aku antar sendiri dimana aku melamar dan ada pula yang lewat teman. Pasca lulus kuliah aku niatkan dalam hati bahwa aku tidak akan minta uang lagi sama bibiku. Dan aku berpikir keras, bagaimana caranya agar  aku  mendapatkan uang tanpa meminta dari bibiku.

Dalam memenuhi kebutuhan, aku ikut membantu teman seorang wartawan yang meliput ke sana ke mari. Seringkali dari nara  sumber aku suka mendapatkan uang. Aku ikut meliput undangan confrensi pers bersama teman, dari sana pula aku mendapatkan uang. Hingga akhirnya surat panggilan lamaran kerjaku terima. Aku diterima kerja tanpa tes, hanya saja saat wawancara aku ditanya siap tidak untuk bekerja di pedalaman Pulau Kalimantan. Tanpa ragu langsung aku jawab, “Siap”. Selang 3 hari aku sudah disiapkan tiket pesawat untuk ke Kalimantan.

Sebelum berangkat ke Kalimantan aku pamitan dengan bibiku.  Rasa percaya diriku meningkat. Rendah diri dan minder dengan sendiri hilang dari diriku. Bibiku meng-iya-kan. Iyanya tidak bisa aku artikan apa, iya setuju atau iya terpaksa. Bagiku itu tidak penting. Secara etika sudah aku tunjukan sopan santunku dengan berpamitan terlebih dahulu. Lebih dari itu hanya Tuhan yang tahu.

Dalam pesawat aku menangis. Seumur-umur aku belum pernah pergi dengan pesawat. Seumur-umur yang belum pernah pergi sejauh ini. Tekadku hanya satu ingin bekerja. Kebetulan juga gaji yang ditawarkan menurutku sudah sangat besar. Dan aku pun diperbolehkan pulang ke Jakarta 2 bulan sekali selama 10 hari. Karena di tempat kerjaku tidak ada hari libur. Sebagai pengganti hari minggu diakumulasi 10 hari itulah sebagai hari cuti. Alhamdullilah aku panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan yang  telah mengambulkan doa-doaku yang selalu aku panjatkan dikala itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar