Sabtu, 17 Desember 2011

Cerpen: Calon Bupati Muda


Oleh : Yusnadi

Aku harus melakukan sesuatu! Aku harus berbuat sesuatu! Aku tidak boleh tinggal diam! Seberapa beratpun masalah, harus aku uraikan menjadi bagian-bagian yang dapat dipecahkan.  Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap karier politikku dan bisnisku. Aku ingin semua berjalan sempurna antara bisnis dan politik.
Aku adalah seorang businessman yang kini tengah berkecimpung pula dalam dunia politik. Dunia politik seakan tidak pernah hengkang dari diriku. Aku begitu terpikat dengan dunia politik. Dunia politik bagiku bukan untuk mencari uang tapi untuk memperoleh kekuasaan  agar dapat melakukan sesuatu yang lebih untuk masyarakat banyak. Kedengarannya idealis dan klise. Tapi biarlah akan aku jalani dan akan aku hadapi. “Aku adalah sang juara bukan pecundang,” demikian prinsifku.
Masa kecilku memang penuh dengan prestasi. Baik di sekolah maupun dilingkungan rumah tempat tinggal. Dari SD sampai SMA aku sering juara kelas dan juara umum—aku juga disayangi oleh guru-guru dan kawan-kawan. Aku sering mewakili sekolah dalam berbagai perlombaan antar  sekolah, dan seringkali pula aku tampil sebagai juara.  Tampil sebagai juara adalah obsesiku dalam segala hal.
Ketika SD aku pernah juara lomba pidato tingkat kabupaten. SMP aku juara bulutangkis tingkat Kotamadya. Dan ketika SMA aku mendapatkan beasiswa, gratis tidak sepeserpun mengeluarkan biaya untuk kebutuhan sekolah. Selain itu, naluri bisnisku telah tumbuh pula saat itu.  Hal yang aku lakukan saat itu adalah, jual beli celana levis, memborong hasil petani kemudian aku jual ke pasar. Ketika masa kuliah, bisnisku sudah mampu menghasilkan sesuatu yang sangat berharga. Dan aku juga telah memiliki sebuah badan usaha berbentuk CV. Hingga akhirnya CV-ku berkembang   lebih besar dan akhirnya aku bentuk menjadi sebuah Perseroan Terbatas (PT). Hingga saat ini bisnisku masih terus berjalan dan berkembang dengan baik.
Tetapi aku masih belum merasa puas jika hanya berhasil di dunia bisnis. Aku terdorong pula oleh suatu hasrat  untuk menjadi seorang pejabat. Aku mengincar posisi bupati. Aku merasa mampu menjabat sebagai bupati.
Saat usia menginjak 30 tahun, obsesiku bersambut ketika salah satu partai meminangku untuk menjadi bakal calon bupati disuatu daerah pemilihan. Ketika aku tanya, apa alasannya memilih aku? Para kader dan pengurus dari DPD dan DPW partai itu menyodorkan setumpuk argumen padaku. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, prestasi,  sisi agama dan juga dari sisi ekonomi.
Disebutkan bahwa aku adalah figur teladan bagi kawula muda dan masyarakat. Aku dinilai mempunyai riwayat hidup yang baik dan penuh dengan prestasi. Aku dinilai profesional, peduli pada orang lain,  keagamaanku dinilai bagus serta bertoleransi. Aku juga dinilai cukup dikenal di lingkungan masyarakat  daerah pemilihan. Dan secara ekonomi aku diberi predikat  di atas rata-rata orang kebayakan.
Aku tersanjung dengan argumen mereka. Tapi aku merasa belum puas untuk menerima alasan-alasan yang mereka kemukan.  Aku tanya lagi, apa alasan lain memilih aku? Dijawab oleh Ketua DPW dari partai itu, bahwa aku adalah seorang pemuda yang reformis, dinamis, agamis, pebisnis dan manis (tampan). Maaf geer. 
Setelah aku timbang sejenak dan demi  kebaikan semua akhirnya aku terima juga lamaran dari salah satu partai itu untuk mencalonkan diri menjadi seorang bupati. Tentu saja tantanganku akan semakin berat. Aku masih tergolong pengantin baru saat itu. Istriku sedang hamil 7 bulan saat itu. Dan aku sendiri sedang asyik-asyiknya menjalankan bisnis pribadi yang tengah berkembang dengan baik. Dan kini ditambah satu amanah lagi sebagai calon bupati yang harus bertarung di tahun 2011.
Seperti umumnya para calon bupati aku mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk memenangkan pemilihan. Aku harus menemui kader-kader di tingkat Kampung, Kecamatan sampai pada tingkat Kabupaten. Dan ini tidak semudah yang aku bayangkan. Badanku lelah sekali. Pikiran,  waktu dan saldo rekeningku terkuras untuk modal dalam memenangkan pemilihan.
Dan tidak hanya itu saja, tantangan lain pun silih datang berganti. Tantangan terberat justru dalam perang urat saraf. Baik dari partai lawan maupun dari internal partai. Dari kalangan internal partai ternyata banyak juga yang tidak suka aku dicalonkan. Mereka menilai aku bukan kader dari partai itu. Jika hanya ingin mendongkrak suara dari kefigurannya atau mengambil dana dari sisi ekonominya, apakah tidak ada yang lain yang lebih layak? Demikian ungkap mereka yang tidak suka dengan aku.
Tetapi bagiku  tekad sudah bulat untuk menjadi seorang bupati, sekali mengatakan “Ya” maka segala rintangan harus aku hadapi dan harus aku selesaikan. “Aku adalah sang juara bukan pecundang,” demikian prinsifku meneguhkan. Aku merasakan guncangan-guncangan dari dalam partai. Isue-isue miring mengenai diriku, mengenai latar belakang keluargaku dan mengenai kekayaanku mulai merebak dimana-mana. Aku merasa bagaikan artis yang selalu di sorot oleh masyarakat dan media massa. Tetapi  atas semua hal yang berkembang  semakin menguatkanku untuk terus maju dan memenangkan pemilihan bupati ini. Dan aku pun harus semakin waspada dalam hal  menjaga citra diri. Sementara di sisi lain aku pun harus mampu mengabaikan isue-isue yang menjurus pada pembunuhan karakter.
Memang tidak bisa dihindari sebagai calon bupati aku semakin dikenal oleh masyarakat luas. Apalagi poster, spanduk, baleho, stiker sampai kalender telah beredar di masyarakat. Sebagai manusia aku merasakan ada kebanggaan tersendiri, tapi sebagai kepala keluarga ada kekhawatiran juga atas apa yang sedang terjadi.  Sewaktu-waktu bisa saja sesuatu terjadi pada diriku dan  menghantam keharmonisan keluargaku.
Untuk menenangkan hati, aku sering berkunjung ke tempat orang tua, mertua dan handai taulan. Sekaligus sebagai ajang kampanye di lingkungan keluarga, minta dukungan dan restunya. Tetapi ada satu pesan yang tidak pernah luput dari orang tuaku.
“Nak, jangan lupa sholat 5 waktu. Sholat itu penting bagi kehidupan di dunia dan di akherat,” demikian pesan Ibu.
"Sempatkan membaca Al Quran yang pernah kau pelajari ketika kecil dulu, walaupun itu 1 ayat. Bila kamu mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak yatim."
Ya, kalimat-kalimat  itulah yang masih sering ibu sampaikan kepadaku. Dan kalimat ibu itu, kini sering pula aku sampaikan kepada istriku, saudaraku dan teman-teman dekatku.  Dan aku selalu  berusaha untuk melaksanakan nasihat-nasihat Ibu.
Sebagai calon bupati yang masih tergolong muda banyak orang yang mengidolakanku. Aku sering diundang untuk bicara di berbagai forum. Tema yang diangkat mulai dari masalah pencalonan sebagai bupati, status sebagai  pebisnis, sebagai uztad  sampai pada urusan keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Satu  diantaranya yang mengidolakanku dan mengagumiku dengan seringnya hadir dalam setiap even. Ya,hampir disetiap even itu adalah seorang wanita muda. Aku tidak kenal dia tetapi dia seringkali  kirim SMS padaku. Bahkan pada satu waktu dia  minta waktu ingin bicara empat mata di suatu tempat.
Dengan rasa ingin tahu, akhirnya aku bersedia menemuinya di tempat yang disepakati. Ia seorang wanita muda, sangat cantik—Farah Irawati namanya. Dalam hati aku bertanya, wanita ini masih single atau sudah bersuami.  Jika sudah bersuami mana mungkin ia selalu hadir di setiap even-ku dan sering berkirim SMS padaku.
Pertama bertemu aku penuh tanya. Pertemuan kedua aku dan dia semakin terbuka. Pertemuan ketiga aku dan dia semakin akrab. Pertemuan keempat …eeeh dia menyatakan cinta padaku. Dan aku jawab, “Aku juga cinta”.
“Gombal,” kataku dalam hati. Aku tak percaya pada diriku sendiri, sampai-sampai aku mengatakan “aku juga cinta” seperti anak ABG (Anak baru gede) saja.
Dengan telah saling terungkapnya isi hati kami, Farah pun semakin aktif hadir dalam setiap acara-acaraku: Saat temu kader, temu tokoh masyarakat, temu ulama dan temu tokoh-tokoh pemuda. Aku dan Farah semakin berani tampil di hadapan public.
Begitulah. Aku merasakan ini sungguh mengasyikan, dengan ditemani wanita cantik, aku di puja, aku diidolakan, aku dijadikan contoh sebagai salah satu anak muda yang sukses yang kelak akan memperjuangkan nasib rakyat banyak. Tetapi rasa banggaku, sejujurnya aku katakan tidak luput  ada rasa cemas dan khawatir, sekalipun aku selalu berusaha untuk tampil santun dan tidak sombong.
Ketika aku sering menjadi nara sumber dalam pertemuan-pertemuan. Dan banyak masyarakat yang mengidolakanku sebagai orang  yang sukses memimpin keluarga, sakinah, mawadah, warohmah. Dan sukses dari sisi financial. Tetapi sungguh seiring dengan itu, istriku mulai mencium aroma yang tidak sedap ada padaku. Kabar atas selingkuhanku dengan Farah Irawati  mulai sampai ke rumah. Lawan-lawan politikku mulai tepuk tangan, bahkan dibumbui secara berlebihan.
Aku dituduh sebagai srigala berbulu domba, playboy berpeci, dan kaya hasil korupsi. Public sedikit demi sedikit akhirnya mengetahui.  Sungguhpun kenyataan yang mereka dengar sangat dan teramat sangat dilebih-lebihkan. Kesalahanku hanya pada soal wanita. Aku tergoda gadis cantik. Di luar itu sungguh aku adalah pekerja sejati, pekerja profesional dan punya niat yang kuat untuk memajukan daerahku.
Tetapi issue yang berkembang lain. Sekalipun aku meyakini bahwa itu hanya sebagian saja yang mempercayai issue  itu. Persepsi yang terbentuk dalam sebagian benak masyarakat adalah:  Ternyata yang berkembang saat ini  bukan sekedar issue, tetapi adalah sebuah kenyataan.
Kejam, sungguh kejam. Aku yang merasa hidup bagaikan di surga tiba-tiba jatuh ke dalam neraka. Orang tuaku tidak terima anaknya di tuduh yang engga-engga. Orang tuaku sadar, paham dan tahu persis bahwa kekayaanku adalah buah dari hasil kerja keras semenjak muda. Yang aku bangun dari masa sekolah, masa kuliah. Dan ketika masuk masa pernikahan aku sudah memiliki usaha yang cukup mapan.  Namun istriku tetap menangis karena sang suami yang amat dicintainya diketahui berselingkuh.
Dalam hal hubungan dengan Farah Irawati, aku mengakui bersalah tetapi yang lainnya tidak. Aku  terus terang sangat sedih dan menyesal. Aku berbuat selingkuh seakan tanpa sadar. Hubunganku dengan Farah mengalir begitu saja. Tanpa tendensi, tanpa motif dan tidak direncanakan.  Aku hanya terjurumus dalam evoria masa kampanye. Di luar itu aku tetap sebagai suami idaman bagi istriku dan anak idaman bagi ibuku.
Istriku tidak terima dengan kejadian ini. Ia menangis dalam pilu. Isue-isue yang selama ini dianggap sebagai tuduhan dan fitnahan ternyata adalah sebuah kenyataan. Ibuku mencoba untuk menenangkan istriku. Ibuku memberi nasehat agar selalu hati-hati dalam berbuat dan bertindak. Sementara partai tidak mau tahu apa yang tengah terjadi. Pimpinan DPC dan Pimpinan DPW Partai minta jawabanku secara tegas, lanjut sebagai calon bupati  atau mengundurkan diri saja.
Dan aku jawab dengan tegas, “Lanjut!” apa pun yang terjadi. “
Selanjutnya aku introfeksi diri. Aku mengatur strategi. Dan aku menetapkan hati:
 
“Aku adalah sang juara, bukan pecundang. Tidak akan mundur hanya ada prahara. Segala masalah bisa diatasi.  Aku akan meminta maaf kepada istriku dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Dan aku akan mohon doa restu ibu agar aku tidak terjurumus dalam prahara. Sementara bisnisku agar tetap dapat berjalan,  operasionalnya aku delegasikan kepada istriku. Di tahun ini aku akan focus kampanye sebagai calon bupati dan kelak menjalankan kepemimpinan sebagai bupati”.
Dan untuk Farah Irawati, aku hanya berpesan lewat e-mail:

Maafkan aku Farah, hubungan kita tidak bisa dilanjutkan. Kamu masih muda dan kamu cantik, nanti kamu akan menyesal jika terus selalu berhubungan denganku. Aku sadari bahwa keluargaku adalah segalanya. Perjuanganku sebagai calon bupati juga amanah yang harus dijaga. Aku akan berjuang sekuat tenaga, keyakinanku akan berhasil sebagai bupati. Tekadku bulat dan obsesiku kuat. Aku adalah sang juara bukan pecundang. Dari kecil aku terbiasa menjadi juara. Sekali lagi maafkan aku Farah. Dikesempatan ini pula, aku minta bantuanmu untuk mengembalikan citra diriku, masih ada waktu 4 bulan sebelum  pemilihan bupati berlangsung. Aku harap kemenanganku akan menjadi suatu kenangan yang indah untuk kita, untuk masyarakat kita. Salam manis dariku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar