Oleh : Yusnadi
Aku harus melakukan sesuatu! Aku
harus berbuat sesuatu! Aku tidak boleh tinggal diam! Seberapa beratpun masalah,
harus aku uraikan menjadi bagian-bagian yang dapat dipecahkan. Apabila masalahku ini berlarut-larut dan aku
tidak segera menemukan pemecahannya, aku khawatir akan berdampak buruk terhadap
karier politikku dan bisnisku. Aku ingin semua berjalan sempurna antara bisnis
dan politik.
Aku adalah seorang businessman yang kini tengah
berkecimpung pula dalam dunia politik. Dunia politik seakan tidak pernah
hengkang dari diriku. Aku begitu terpikat dengan dunia politik. Dunia politik
bagiku bukan untuk mencari uang tapi untuk memperoleh kekuasaan agar dapat melakukan sesuatu yang lebih untuk
masyarakat banyak. Kedengarannya idealis dan klise. Tapi biarlah akan aku jalani
dan akan aku hadapi. “Aku adalah sang juara bukan pecundang,” demikian
prinsifku.
Masa kecilku memang penuh dengan
prestasi. Baik di sekolah maupun dilingkungan rumah tempat tinggal. Dari SD
sampai SMA aku sering juara kelas dan juara umum—aku juga disayangi oleh
guru-guru dan kawan-kawan. Aku sering mewakili sekolah dalam berbagai
perlombaan antar sekolah, dan seringkali
pula aku tampil sebagai juara. Tampil sebagai
juara adalah obsesiku dalam segala hal.
Ketika SD aku pernah juara lomba
pidato tingkat kabupaten. SMP aku juara bulutangkis tingkat Kotamadya. Dan
ketika SMA aku mendapatkan beasiswa, gratis tidak sepeserpun mengeluarkan biaya
untuk kebutuhan sekolah. Selain itu, naluri bisnisku telah tumbuh pula saat
itu. Hal yang aku lakukan saat itu
adalah, jual beli celana levis, memborong hasil petani kemudian aku jual ke
pasar. Ketika masa kuliah, bisnisku sudah mampu menghasilkan sesuatu yang
sangat berharga. Dan aku juga telah memiliki sebuah badan usaha berbentuk CV.
Hingga akhirnya CV-ku berkembang lebih besar dan akhirnya aku bentuk menjadi
sebuah Perseroan Terbatas (PT). Hingga saat ini bisnisku masih terus berjalan dan
berkembang dengan baik.
Tetapi aku masih belum merasa
puas jika hanya berhasil di dunia bisnis. Aku terdorong pula oleh suatu hasrat untuk menjadi seorang pejabat. Aku mengincar
posisi bupati. Aku merasa mampu menjabat sebagai bupati.
Saat usia menginjak 30 tahun,
obsesiku bersambut ketika salah satu partai meminangku untuk menjadi bakal
calon bupati disuatu daerah pemilihan. Ketika aku tanya, apa alasannya memilih
aku? Para kader dan pengurus dari DPD dan DPW partai itu menyodorkan setumpuk argumen
padaku. Mulai dari latar belakang keluarga, pendidikan, prestasi, sisi agama dan juga dari sisi ekonomi.
Disebutkan bahwa aku adalah figur
teladan bagi kawula muda dan masyarakat. Aku dinilai mempunyai riwayat hidup
yang baik dan penuh dengan prestasi. Aku dinilai profesional, peduli pada orang
lain, keagamaanku dinilai bagus serta
bertoleransi. Aku juga dinilai cukup dikenal di lingkungan masyarakat daerah pemilihan. Dan secara ekonomi aku diberi
predikat di atas rata-rata orang
kebayakan.
Aku tersanjung dengan argumen
mereka. Tapi aku merasa belum puas untuk menerima alasan-alasan yang mereka
kemukan. Aku tanya lagi, apa alasan lain
memilih aku? Dijawab oleh Ketua DPW dari partai itu, bahwa aku adalah seorang
pemuda yang reformis, dinamis, agamis, pebisnis dan manis (tampan). Maaf geer.
Setelah aku timbang sejenak dan
demi kebaikan semua akhirnya aku terima
juga lamaran dari salah satu partai itu untuk mencalonkan diri menjadi seorang
bupati. Tentu saja tantanganku akan semakin berat. Aku masih tergolong
pengantin baru saat itu. Istriku sedang hamil 7 bulan saat itu. Dan aku sendiri
sedang asyik-asyiknya menjalankan bisnis pribadi yang tengah berkembang dengan
baik. Dan kini ditambah satu amanah lagi sebagai calon bupati yang harus
bertarung di tahun 2011.
Seperti umumnya para calon bupati
aku mulai mengambil langkah-langkah strategis untuk memenangkan pemilihan. Aku
harus menemui kader-kader di tingkat Kampung, Kecamatan sampai pada tingkat
Kabupaten. Dan ini tidak semudah yang aku bayangkan. Badanku lelah sekali.
Pikiran, waktu dan saldo rekeningku
terkuras untuk modal dalam memenangkan pemilihan.
Dan tidak hanya itu saja,
tantangan lain pun silih datang berganti. Tantangan terberat justru dalam
perang urat saraf. Baik dari partai lawan maupun dari internal partai. Dari
kalangan internal partai ternyata banyak juga yang tidak suka aku dicalonkan.
Mereka menilai aku bukan kader dari partai itu. Jika hanya ingin mendongkrak
suara dari kefigurannya atau mengambil dana dari sisi ekonominya, apakah tidak
ada yang lain yang lebih layak? Demikian ungkap mereka yang tidak suka dengan
aku.
Tetapi bagiku tekad sudah bulat untuk menjadi seorang
bupati, sekali mengatakan “Ya” maka segala rintangan harus aku hadapi dan harus
aku selesaikan. “Aku adalah sang juara bukan pecundang,” demikian prinsifku
meneguhkan. Aku merasakan guncangan-guncangan dari dalam partai. Isue-isue
miring mengenai diriku, mengenai latar belakang keluargaku dan mengenai
kekayaanku mulai merebak dimana-mana. Aku merasa bagaikan artis yang selalu di
sorot oleh masyarakat dan media massa. Tetapi atas semua hal yang berkembang semakin menguatkanku untuk terus maju dan
memenangkan pemilihan bupati ini. Dan aku pun harus semakin waspada dalam hal menjaga citra diri. Sementara di sisi lain aku
pun harus mampu mengabaikan isue-isue yang menjurus pada pembunuhan karakter.
Memang tidak bisa dihindari
sebagai calon bupati aku semakin dikenal oleh masyarakat luas. Apalagi poster,
spanduk, baleho, stiker sampai kalender telah beredar di masyarakat. Sebagai
manusia aku merasakan ada kebanggaan tersendiri, tapi sebagai kepala keluarga
ada kekhawatiran juga atas apa yang sedang terjadi. Sewaktu-waktu bisa saja sesuatu terjadi pada
diriku dan menghantam keharmonisan
keluargaku.
Untuk menenangkan hati, aku
sering berkunjung ke tempat orang tua, mertua dan handai taulan. Sekaligus
sebagai ajang kampanye di lingkungan keluarga, minta dukungan dan restunya. Tetapi
ada satu pesan yang tidak pernah luput dari orang tuaku.
“Nak, jangan lupa sholat 5 waktu.
Sholat itu penting bagi kehidupan di dunia dan di akherat,” demikian pesan Ibu.
"Sempatkan membaca Al Quran
yang pernah kau pelajari ketika kecil dulu, walaupun itu 1 ayat. Bila kamu
mempunyai rezeki lebih, jangan lupa bersedekah kepada fakir miskin dan anak
yatim."
Ya, kalimat-kalimat itulah yang masih sering ibu sampaikan kepadaku. Dan kalimat ibu itu, kini sering pula aku sampaikan kepada istriku, saudaraku dan teman-teman dekatku. Dan aku selalu berusaha untuk melaksanakan nasihat-nasihat Ibu.
Ya, kalimat-kalimat itulah yang masih sering ibu sampaikan kepadaku. Dan kalimat ibu itu, kini sering pula aku sampaikan kepada istriku, saudaraku dan teman-teman dekatku. Dan aku selalu berusaha untuk melaksanakan nasihat-nasihat Ibu.
Sebagai calon bupati yang masih
tergolong muda banyak orang yang mengidolakanku. Aku sering diundang untuk
bicara di berbagai forum. Tema yang diangkat mulai dari masalah pencalonan
sebagai bupati, status sebagai pebisnis,
sebagai uztad sampai pada urusan
keluarga sakinah, mawadah, warohmah. Satu diantaranya yang mengidolakanku dan
mengagumiku dengan seringnya hadir dalam setiap even. Ya,hampir disetiap even
itu adalah seorang wanita muda. Aku tidak kenal dia tetapi dia seringkali kirim SMS padaku. Bahkan pada satu waktu dia minta waktu ingin bicara empat mata di suatu
tempat.
Dengan rasa ingin tahu, akhirnya
aku bersedia menemuinya di tempat yang disepakati. Ia seorang wanita muda,
sangat cantik—Farah Irawati namanya. Dalam hati aku bertanya, wanita ini masih single atau sudah bersuami. Jika sudah bersuami mana mungkin ia selalu
hadir di setiap even-ku dan sering
berkirim SMS padaku.
Pertama bertemu aku penuh tanya.
Pertemuan kedua aku dan dia semakin terbuka. Pertemuan ketiga aku dan dia semakin
akrab. Pertemuan keempat …eeeh dia menyatakan cinta padaku. Dan aku jawab, “Aku
juga cinta”.
“Gombal,” kataku dalam hati. Aku
tak percaya pada diriku sendiri, sampai-sampai aku mengatakan “aku juga cinta”
seperti anak ABG (Anak baru gede) saja.
Dengan telah saling terungkapnya
isi hati kami, Farah pun semakin aktif hadir dalam setiap acara-acaraku: Saat
temu kader, temu tokoh masyarakat, temu ulama dan temu tokoh-tokoh pemuda. Aku
dan Farah semakin berani tampil di hadapan public.
Begitulah. Aku merasakan ini
sungguh mengasyikan, dengan ditemani wanita cantik, aku di puja, aku
diidolakan, aku dijadikan contoh sebagai salah satu anak muda yang sukses yang
kelak akan memperjuangkan nasib rakyat banyak. Tetapi rasa banggaku, sejujurnya
aku katakan tidak luput ada rasa cemas
dan khawatir, sekalipun aku selalu berusaha untuk tampil santun dan tidak
sombong.
Ketika aku sering menjadi nara
sumber dalam pertemuan-pertemuan. Dan banyak masyarakat yang mengidolakanku
sebagai orang yang sukses memimpin
keluarga, sakinah, mawadah, warohmah. Dan
sukses dari sisi financial. Tetapi
sungguh seiring dengan itu, istriku mulai mencium aroma yang tidak sedap ada
padaku. Kabar atas selingkuhanku dengan Farah Irawati mulai sampai ke rumah. Lawan-lawan politikku mulai
tepuk tangan, bahkan dibumbui secara berlebihan.
Aku dituduh sebagai srigala
berbulu domba, playboy berpeci, dan
kaya hasil korupsi. Public sedikit
demi sedikit akhirnya mengetahui. Sungguhpun
kenyataan yang mereka dengar sangat dan teramat sangat dilebih-lebihkan.
Kesalahanku hanya pada soal wanita. Aku tergoda gadis cantik. Di luar itu
sungguh aku adalah pekerja sejati, pekerja profesional dan punya niat yang kuat
untuk memajukan daerahku.
Tetapi issue yang berkembang
lain. Sekalipun aku meyakini bahwa itu hanya sebagian saja yang mempercayai
issue itu. Persepsi yang terbentuk dalam
sebagian benak masyarakat adalah:
Ternyata yang berkembang saat ini bukan sekedar issue, tetapi adalah sebuah
kenyataan.
Kejam, sungguh kejam. Aku yang
merasa hidup bagaikan di surga tiba-tiba jatuh ke dalam neraka. Orang tuaku
tidak terima anaknya di tuduh yang engga-engga. Orang tuaku sadar, paham dan
tahu persis bahwa kekayaanku adalah buah dari hasil kerja keras semenjak muda.
Yang aku bangun dari masa sekolah, masa kuliah. Dan ketika masuk masa
pernikahan aku sudah memiliki usaha yang cukup mapan. Namun istriku tetap menangis karena sang
suami yang amat dicintainya diketahui berselingkuh.
Dalam hal hubungan dengan Farah
Irawati, aku mengakui bersalah tetapi yang lainnya tidak. Aku terus terang sangat sedih dan menyesal. Aku
berbuat selingkuh seakan tanpa sadar. Hubunganku dengan Farah mengalir begitu
saja. Tanpa tendensi, tanpa motif dan tidak direncanakan. Aku hanya terjurumus dalam evoria masa
kampanye. Di luar itu aku tetap sebagai suami idaman bagi istriku dan anak idaman bagi ibuku.
Istriku tidak terima dengan
kejadian ini. Ia menangis dalam pilu. Isue-isue yang selama ini dianggap
sebagai tuduhan dan fitnahan ternyata adalah sebuah kenyataan. Ibuku mencoba
untuk menenangkan istriku. Ibuku memberi nasehat agar selalu hati-hati dalam
berbuat dan bertindak. Sementara partai tidak mau tahu apa yang tengah terjadi.
Pimpinan DPC dan Pimpinan DPW Partai minta jawabanku secara tegas, lanjut
sebagai calon bupati atau mengundurkan
diri saja.
Dan aku jawab dengan tegas, “Lanjut!” apa pun yang terjadi.
“
Selanjutnya aku introfeksi diri.
Aku mengatur strategi. Dan aku menetapkan hati:
“Aku adalah sang juara, bukan pecundang. Tidak akan mundur hanya ada
prahara. Segala masalah bisa diatasi. Aku
akan meminta maaf kepada istriku dan berjanji tidak akan mengulangi lagi. Dan
aku akan mohon doa restu ibu agar aku tidak terjurumus dalam prahara. Sementara
bisnisku agar tetap dapat berjalan, operasionalnya aku delegasikan kepada istriku.
Di tahun ini aku akan focus kampanye sebagai calon bupati dan kelak menjalankan
kepemimpinan sebagai bupati”.
Dan untuk Farah Irawati, aku hanya berpesan lewat e-mail:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar