Oleh: Yusnadi
Dear Mbak Jenap,
Perlu mbak
ketahui bahwa dalam keheningan malam ini di waktu dan suasana yang beda, surat
dari mbak telah saya arsip dengan baik. Sedangkan isinya tersimpan dalam
ingatan kepala saya. Saya sebetulnya ingin menjawab surat mbak dari seminggu
yang lalu, tapi tertahan karena saya tak ingin menyampaikan sesuatu yang dapat
menyinggung perasaan mbak. Saya ingin menyampaikan sesuatu yang baik dalam
suasana yang baik pula.
Mbak Jenap
yang saya kagumi,
Mungkin
benar bahwa suami yang sudah berani beristri dua ada kemungkinan dia akan
memiliki istri ketiga dan keempat. Tetapi saya rasa tidak untuk Mas Muji kita.
Karena 5 tahun yang lalu, sebelum kami menikah saya pernah menanyakan hal yang
sama kepada Mas Muji. Jawabannya hanyalah kita berdua wanita yang amat
dicintainya. Mungkin ini kata-kata klise dari seorang pria, tapi saya sangat
yakin akan ucapan Mas Muji. Dan sampai hari ini bukankah Mas Muji selalu
terbuka dalam segala hal kepada kita. Termasuk keadaan dan kondisi anak-anak
mbak yang sudah memasuki masa remaja semua. Mas Muji selalu menceritakan
anak-anaknya kepada saya. Hal yang sama pun mungkin Mas Muji ceritakan tentang
kondisi saya dan anak saya di sini kepada mbak.
Anak saya
sekarang sudah masuk sekolah TK. Alhamdulillah
ia sangat suka bersekolah. Ia sudah pandai membaca Iqro, karena setiap bada
magrib saya dan Mas Muji selalu mengajaknya untuk belajar. Saya yakin
hal sama pun pernah Mas Muji terapkan untuk anak-anak mbak. Dan menurut cerita
Mas Muji, anak-anak mbak ketiganya cukup
memegang prestasi di sekolahnya. Kita harus bersyukur mbak, karena kita telah
menjadi istri-istri yang baik di mata suami. Begitu juga dengan Mas Muji kita,
ia telah menunjukkan sebagai suami sejati, lahir dan bathin, bukankah begitu
menurut mbak? Saya setuju. Karena Mas Muji
mampu memberikan segalanya.
Mbak Jenap
yang penyabar,
Yang saya
tahu, sampai saat ini Mas Muji tetap sebagai suami idaman kita.
Benar kita harus mampu memberikan service
terbaik untuknya. Sebaik dia memberikan kebutuhan lahir dan bathin untuk
kita. Kalaupun toh dalam sepuluh tahun ke depan Mas Muji sudah berkurang dalam
memberikan nafkah bathin, saya sebagai istri kedua yang jauh lebih muda tak
jadi masalah. Maaf lho mbak saya terlalu jauh berpikir ke depan, tetapi itulah
saya dengan segala kekurangannya.
Kalau mbak
mungkin hanya sewaktu-waktu merasakan gatal, apalagi saya yang lebih muda ini
tentu akan lebih sering merasakan gatal jika Mas Muji sedang tidak berada di
sisi saya. Dan hal yang sama pun sering saya bayangkan, manakala Mas Muji sedang
berada di sisi mbak. Kita sama-sama wanita pasti merasakan hal
yang sama tentang ini dan itu. Pengorbanan kita adalah, perlu berbagi rasa. Dan
apa yang sudah kita korbankan rasanya selalu terbalas manakala Mas Muji sudah
berada di sisi kita, bukankah begitu mbak Jenap?
Poligami
adalah hak laki-laki. Tuhan Yang Maha Kuasa sudah menggariskan itu. Sekalipun
tidak semua wanita sudi untuk di madu. Tapi biarlah Tuhan yang akan menilainya,
kita sebagai umat yang menyakini kebenaran itu semoga akan selalu mendapat
hidayah dari-Nya.
Mengenai
saran mbak Insya Allah akan saya jalankan dengan sepenuh hati, bukankah Mas
Muji kita merupakan suami terbaik untuk kita. Saya kagum
dengan kesabaran dan pengertian yang sangat mendalam dari mbak. Mbak sampai
hari ini dan untuk selamanya tetap merupakan wanita yang tangguh, teguh dan
tegar. Sekalipun kita sama-sama tahu bahwa mencintai seseorang jangan
berlebihan hingga melebihi cinta kita kepada Sang Pencipta.
Menurut
pendapat saya, mbak tetap cantik ko, masih sekel, seksi dan montok. Bukankah
wanita seperti itu yang diidamkan oleh para pria. Mbak pokoknya sudah memenuhi
syarat sebagai istri idaman suami. Betul lho mbak, saya bukan mengada-ngada.
Ditambah lagi dengan sikap mbak yang ramah, supel dan selalu memberi kesan sumringah. Itulah yang saya rasa membuat Mas Muji engga ku ku ..., sama mbak.
Mas Muji
memang suami idaman bagi kita, istrinya. Tetapi
saya dan mbak pun tentu berharap bahwa kita juga adalah istri-istri
idaman baginya, bukankah begitu mbak?
Malam ini,
ketika saya sedang menulis surat ini, Mas Muji sedang tidak berada di sisi saya
dan itu berarti sebaliknya. Bagi saya jangankan ketika Mas Muji tidak ada di
rumah, ketika Mas Muji sedang berada di sisi saya pun, saya rasanya bagaimana
gitu, mbak. Seringkali kali saya memandangnya dari depan, dari samping bahkan
dari belakang, saya sering tersenyum berbunga. Berbunga dengan rasa bangga,
suami kita sungguh merupakan idaman bagi kaum wanita. Saya pun seringkali tidak
kuku, ingin segera bertarung dengannya dan berakhir dalam kelelahan yang
mengasyikan. Maaf mbak, ini cerita konyol
tapi rasanya romantis juga bila dituliskan oleh kita dengan perasaan
yang mendalam.
Tulisan-tulisan
kita sendiri pun rasanya cukup menggelorakan untuk segera mengharapkan
kehadiran sang arjuna dipelukkan kita. Saya setuju dengan pendapat mbak bahwa
ini pun merupakan seni dan variasi. Setiap kali ia kembali dari rumah mbak,
saya memandang Mas Muji justru nampak lebih segar, tidak ada rasa lelah. Dan
rasanya ia selalu siap untuk kembali bertempur dengan saya. Saya sih berharap
hal yang sama juga dapat dirasakan oleh mbak. Ketika ia kembali dari rumah
saya, mudah-mudahan suami tercinta kita ini tetap dapat menunjukan keperkasaannya. Padahal di tempat
saya sudah saya peras habis lho mbak, habis gemas!
Udah dulu
yang mbak, semoga surat saya ini dapat mbak sambung lagi dengan cerita-cerita
yang menggelitik dan yang dapat membangun romantisme kita. Setuju mbak? Oce deh mbak, salam dari adik, Yuyun,
istri muda.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar