Oleh: Yusnadi
Kawasan
Pesisir Pantai Timur, Muara Tulang Bawang dan Mesuji yang berudara panas, basah
dan lembab dalam perjalanan sejarahnya telah berhasil membawa kemakmuran pada
masyarakatnya. Matahari yang selalu menyengat di kawasan itu seakan tidak
pernah dirasakan. Semua warga berpacu, berlomba untuk meningkatkan produksi
udang. Siklus demi siklus yang memakan waktu sekitar 5 bulan tanpa terasa
terlewati begitu saja.
Jika
hasil panen udang hanya mencapai 4 sampai 5 Kwt, aku merasa sebagai petambak plasma
yang gagal. Apalagi bila mendengar teman-teman yang bisa mencapai hasil udang
hingga 2 - 3 ton per tambak per siklus.
Kehidupanku
sebagai seorang petambak plasma sudah berlangsung selama 12 tahun. Jika dalam
satu tahun panen dua kali, berarti aku sudah menjalani panen sebanyak 24 kali.
Waktu rasanya cepat sekali berlalu.
Aku
berasal dari daerah Liwa, Lampung Barat. Akibat musibah gempa bumi yang terjadi
di tahun 1993 akhirnya aku merantau ke Lampung Utara. Dan sekarang telah berubah
nama menjadi sebuah kabupaten sendiri, yaitu Kabupaten Tulang Bawang.
Aku
sangat bersyukur dapat diterima menjadi
salah satu warga penduduk di kawasan yang sudah terkenal akan kemakmurannya. Kawasan
pertambakan modern di pesisir timur, Tulang Bawang. Aku sangat merasakan betul
perubahan yang terjadi. Semua warga,
baik petambak plasma maupun karyawan perusahaan bahu membahu, tolong menolong
dalam setiap kesulitan. Dari urusan kerja sampai urusan rumah tangga.
Aku
menikmati rasa kebahagiaan, kehangatan itu selama 5 tahun. Menginjak tahun
ke-6, rasa kebersamaan dan kekeluargaan itu setahap demi setahap mulai memudar.
Dan memasuki tahun ke-7 seiring dengan bergulirnya era reformasi, terguling
pula jalinan persahabatan, perasaudaraan diantara petambak plasma dengan karyawan.
Petambak plasma dengan petambak plasma dan petambak plasma dengan perusahaan.
Terhentilah semua proses produksi perusahaan.
Petani
tambak tidak ada yang panen, karyawan banyak yang nganggur, perusahaan tidak
ada ekspor, nyaris lumpuh total. Udara kawasan yang panas oleh terik matahari
baru terasa menyengat kali ini. Tidak dirasakan lagi angin laut yang
sepoy-sepoy basah. Tidak ada lagi gemercik suara kincir tambak. Tidak ada lagi
nyanyian burung camar. Semua sunyi namun panas, tenang namun mengancam.
Kawasan
tambak yang berasal dari tanah gambut dan rawa-rawa kini menampakkan
keganasannya. Penjarah-penjarah terasa selalu mengintai, satu kelompok dengan
kelompok lainnya mulai saling curiga. Kenyamanan dan kedamaian pudar sudah.
“Oh
Tuhan kapankah semua ini akan berakhir,” demikian tanyaku pada Tuhan. Surgaku
yang kunikmati hanya 5 tahun saja. Dan
sejak tahun 1998 hingga tahun
2006 kemelut atas sebuah kawasan pertambakan belum berakhir. Perundingan-perundingan
antara petambak plasma dengan perusahaan yang dimediatori oleh pemerintah
daerah hampir tidak ada artinya.
Masing-masing
kelompok membentuk Satgas, tujuannya untuk menjaga keamanan. Kenyataannya
banyak menimbulkan masalah baru. Bentrokan-bentrokan kecil hampir sering kali
terjadi. Satu mencegah satunya ribut, satu ribut yang lainnya mencegah.
Pelaksanaan ronda yang dijalankan warga, rasanya semu. Pencurian-pencurian
kerap kali terjadi. Ancaman-ancaman dan intimidasi sulit dihindari. Aku
menangis tersedu, aku meratap dalam pilu.
Karyawan
sudah banyak yang ter-PHK. Petani plasma banyak yang mengundurkan diri.
Anak-anak sekolah banyak yang dikembalikan ke kampung asalnya. Akankah semua
ini berakhir dengan kehancuran?
“Tidak!”
tegasku dalam hati. Kehidupan dikawasan ini harus tetap berlangsung. 50.000 jiwa
lebih yang menggantungkan hidup di sini. Segelintir orang mungkin merasakan
kepuasannya, namun mayoritas banyak yang lebih menderita.
Aku
mulai menyadarkan diri, aku harus mengatakan bahwa ini pasti akan berakhir.
Karyawan dan petambak plasma harus kembali mengisi hari-harinya dengan memanen
udang secara bersama-sama. Petambak plasma membesarkan udang, karyawan
mengelola, perusahaan ekspor. Ah, alangkah indahnya.
Sejak
saat itu aku mulai tuliskan puisi-puisi optimis, aku senandungkan lagu-lagu
ceria, aku katakan pada media massa
bahwa kawasan ini akan pulih kembali dalam waktu dekat. Aku katakan pada
kawan-kawanku, baik petambak plasma maupun karyawan---bahtera ini harus tetap
berjalan.
Kawasan ini dibangun oleh kita untuk kita,
mengapa kita harus mengahancurkannya. Reformasi bukan balas dendam, reformasi
adalah perbaikan. Perusahaan dan petambak plasma harus sama-sama memperbaiki
diri. Aku katakan pada teman-temanku, kita harus saling memaafkan. Kita harus
berpikir jauh ke depan, keluarga kita, anak-anak kita yang menaruh harapan
besar terhadap kejayaan kembali kawasan ini.
Mari kita sukseskan revitalisasi yang kini telah dicangkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar