Selasa, 13 Desember 2011

Cerpen: Peninggalan Reformasi

Oleh: Yusnadi

Kawasan Pesisir Pantai Timur, Muara Tulang Bawang dan Mesuji yang berudara panas, basah dan lembab dalam perjalanan sejarahnya telah berhasil membawa kemakmuran pada masyarakatnya. Matahari yang selalu menyengat di kawasan itu seakan tidak pernah dirasakan. Semua warga berpacu, berlomba untuk meningkatkan produksi udang. Siklus demi siklus yang memakan waktu sekitar 5 bulan tanpa terasa terlewati begitu saja.
Jika hasil panen udang hanya mencapai 4 sampai 5 Kwt, aku merasa sebagai petambak plasma yang gagal. Apalagi bila mendengar teman-teman yang bisa mencapai hasil udang hingga 2 - 3 ton per tambak per siklus.
Kehidupanku sebagai seorang petambak plasma sudah berlangsung selama 12 tahun. Jika dalam satu tahun panen dua kali, berarti aku sudah menjalani panen sebanyak 24 kali. Waktu rasanya cepat sekali berlalu.
Aku berasal dari daerah Liwa, Lampung Barat. Akibat musibah gempa bumi yang terjadi di tahun 1993 akhirnya aku merantau ke Lampung Utara. Dan sekarang telah berubah nama menjadi sebuah kabupaten sendiri, yaitu Kabupaten Tulang Bawang.
Aku sangat bersyukur  dapat diterima menjadi salah satu warga penduduk di kawasan yang sudah terkenal akan kemakmurannya. Kawasan pertambakan modern di pesisir timur, Tulang Bawang. Aku sangat merasakan betul perubahan yang terjadi. Semua  warga, baik petambak plasma maupun karyawan perusahaan bahu membahu, tolong menolong dalam setiap kesulitan. Dari urusan kerja sampai urusan rumah tangga.
Aku menikmati rasa kebahagiaan, kehangatan itu selama 5 tahun. Menginjak tahun ke-6, rasa kebersamaan dan kekeluargaan itu setahap demi setahap mulai memudar. Dan memasuki tahun ke-7 seiring dengan bergulirnya era reformasi, terguling pula jalinan persahabatan, perasaudaraan diantara petambak plasma dengan karyawan. Petambak plasma dengan petambak plasma dan petambak plasma dengan perusahaan. Terhentilah semua proses produksi perusahaan.
Petani tambak tidak ada yang panen, karyawan banyak yang nganggur, perusahaan tidak ada ekspor, nyaris lumpuh total. Udara kawasan yang panas oleh terik matahari baru terasa menyengat kali ini. Tidak dirasakan lagi angin laut yang sepoy-sepoy basah. Tidak ada lagi gemercik suara kincir tambak. Tidak ada lagi nyanyian burung camar. Semua sunyi namun panas, tenang namun mengancam.
Kawasan tambak yang berasal dari tanah gambut dan rawa-rawa kini menampakkan keganasannya. Penjarah-penjarah terasa selalu mengintai, satu kelompok dengan kelompok lainnya mulai saling curiga. Kenyamanan dan kedamaian pudar sudah.
“Oh Tuhan kapankah semua ini akan berakhir,” demikian tanyaku pada Tuhan. Surgaku yang kunikmati hanya 5 tahun saja. Dan  sejak  tahun 1998 hingga tahun 2006 kemelut atas sebuah kawasan pertambakan belum berakhir. Perundingan-perundingan antara petambak plasma dengan perusahaan yang dimediatori oleh pemerintah daerah hampir tidak ada artinya.
Masing-masing kelompok membentuk Satgas, tujuannya untuk menjaga keamanan. Kenyataannya banyak menimbulkan masalah baru. Bentrokan-bentrokan kecil hampir sering kali terjadi. Satu mencegah satunya ribut, satu ribut yang lainnya mencegah. Pelaksanaan ronda yang dijalankan warga, rasanya semu. Pencurian-pencurian kerap kali terjadi. Ancaman-ancaman dan intimidasi sulit dihindari. Aku menangis tersedu, aku meratap dalam pilu.
Karyawan sudah banyak yang ter-PHK. Petani plasma banyak yang mengundurkan diri. Anak-anak sekolah banyak yang dikembalikan ke kampung asalnya. Akankah semua ini berakhir dengan kehancuran?
“Tidak!” tegasku dalam hati. Kehidupan dikawasan ini harus tetap berlangsung. 50.000 jiwa lebih yang menggantungkan hidup di sini. Segelintir orang mungkin merasakan kepuasannya, namun mayoritas banyak yang lebih menderita.
Aku mulai menyadarkan diri, aku harus mengatakan bahwa ini pasti akan berakhir. Karyawan dan petambak plasma harus kembali mengisi hari-harinya dengan memanen udang secara bersama-sama. Petambak plasma membesarkan udang, karyawan mengelola, perusahaan ekspor. Ah, alangkah indahnya.
Sejak saat itu aku mulai tuliskan puisi-puisi optimis, aku senandungkan lagu-lagu ceria, aku katakan pada media massa bahwa kawasan ini akan pulih kembali dalam waktu dekat. Aku katakan pada kawan-kawanku, baik petambak plasma maupun karyawan---bahtera ini harus tetap berjalan.

Kawasan ini dibangun oleh kita untuk kita, mengapa kita harus mengahancurkannya. Reformasi bukan balas dendam, reformasi adalah perbaikan. Perusahaan dan petambak plasma harus sama-sama memperbaiki diri. Aku katakan pada teman-temanku, kita harus saling memaafkan. Kita harus berpikir jauh ke depan, keluarga kita, anak-anak kita yang menaruh harapan besar terhadap kejayaan kembali kawasan ini.  Mari kita sukseskan revitalisasi yang kini telah dicangkan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar