Rabu, 18 Januari 2012

Cerpen Yusnadi: WANITA MUDA DAN GADIS KECIL


Oleh: Yusnadi

Ibu susi pagi itu sedang ngopi di ruang keluarga dengan temani koran pagi. Sementara telingganya tidak lepas mendengarkan siaran berita yang ditayangkan salah satu televisi swasta. Inah sudah beberapa kali memanggil-manggil nyonya besarnya, “Bu di teras ada tamu menunggu ibu,” suara lembutnya tak terdengar.
Bu Susi masih asyik dengan dunianya, baca Koran dan mendengarkan berita di televisi. Kali ini Inah menoel tangan nyonya-nya, “Bu, bu ada tamu,” suara Inah masih terdengar lembut.
“Siapa?” tanya Bu Susi.
“Endak tahu bu, Inah tidak kenal. Wanita muda dengan seorang gadis kecil,” jelas Inah.
Bu Susi bertanya-tanya dalam hati siapa gerangan. Biasanya teman atau relasi Bu Susi kalau mau berkunjung pasti telepon dulu. “Pasti bukan tamu aku,” hati kecil Ibu Susi berkata sambil bergegas dari kursi goyangnya. 


Ketika Bu Susi membuka pintu didapati seorang wanita muda sedang bermain-main dengan seorang gadis kecil di taman depan rumahnya. “Kamu sudah tahu belum apa keperluannya ingin bertemu aku,” tanya Bu Susi pada Inah.
“Nanti akan dijelaskan kepada Ibu,” kata Inah menjelaskan permintaan wanita muda itu.  “Ini persoalan penting dan rahasia. Tidak semua orang boleh mendengarnya,” ucap Inah menirukan ucapakan wanita muda yang sedang bermain-main dengan seorang gadis kecil di taman itu.
“Aku merasa tidak asing dengan mereka,” hati kecil Bu Susi berbisik.

Akhirnya untuk menjawab semua teka-teki itu Bu Susi menyuruh Inah untuk mempersilahkan tamu yang tak diundang itu menemuinya. Bu Susi sudah duduk manis dan berwibawa di kursi teras rumahnya.
Wanita muda itu masuk menemui Bu Susi. Ia bersalaman dengan santun. Begitu juga anak gadis itu diperintahkannya untuk cium tangan pada Bu Susi. Tapi tangan Bu Susi ditariknya ketika anak itu akan cium tangan.
Mereka bertiga duduk di teras itu. Sementara Inah sudah masuk untuk mengambil minum atau sekedar menghindar dari pembicaraan rahasia mereka. Wanita muda itu membuka pembicaraan dengan memperkenalkan diri. “Perkenalkan nama saya Dewi. Ini  Sinta Anggraeni. Sudah lama saya ingin menemui ibu tetapi saya tahan, saya telah berjanji kelak jika Sinta sudah berumur 5 tahun akan saya perkenalkan kepada Ibu. Sinta sekarang telah berusia 5 tahun, maka kini saatnya saya memperkenalkan Sinta siapa sebenarnya ia dan siapa sebenarnya saya”.
Wanita yang memperkenalkan diri sebagai Dewi itu, melanjutkan ceritanya. “Saya adalah suster yang mendapatkan tugas dari Pak Rafi ….”
“Siapa … Rafi kamu bilang,” hentak Bu Susi kaget. Dalam benaknya timbul berbagai pertanyaan. Namun untuk jelasnya Bu Susi lebih baik diam karena ia ingin lebih lanjut mendengar cerita dari wanita muda yang ada dihadapannya.
“Lalu?” tanya Bu Susi.
“Pak Rafi berpesan bahwa saya boleh membawa Sinta kepada Ibu jika ia sudah berusia 5 tahun”.
“Kenapa harus dibawa ke saya?” tanya Bu Susi.
“Bukankah Pak Rafi anak ibu dan ini adalah cucu ibu, Sinta”, Jelas Dewi mencoba meyakinkan Bu Susi.
“Saya ragu, … apa betul dia cucu saya”.
“Percaya atau tidak bukan wewenang saya untuk meyakinkan ibu. Tugas saya adalah menjalankan amanat Pak Rafi. Dan itu sudah saya jalankan, itu saja,” tandas suster yang bernama Dewi ini.
“Lantas dimana si Rafi sekarang?”
“Saya tidak tahu, bu. Pak Rafi hanya menitipkan kotak ini kepada saya. Dan harus diserahkan kepada ibu saat saya mengantarkan Sinta ke tempat ibu”.

Bu Susi menerima kotak itu. Tidak ada apa-apa di kotak itu, selain sebuah Hp. “Apakah sebuah Hp ini yang ingin ia berikan kepadaku. Sungguh anak yang tidak tahu diuntung,” hardik Bu Susi.
“Iya bu, hanya Hp itu. Karena semua peristiwa pentingnya sudah ia rekam di Hp itu,” jelas  Dewi.
Bu Susi baru tanggap, sebegitu pentingkah Hp ini. Ia ingin segera membuka dan menyetel rekaman yang ada di Hp itu. Tapi keinginan itu ia tahan sementara, “Lantas setelah kamu serahkan Hp ini padaku. Apakah anak ini juga akan kamu serahkan kepadaku?” Perkataan Bu Susi menunjukan ketidaksukaannya.
“Terserah ibu. Jika ibu mau menerima maka saya menyerahkan Sinta dengan berat hati, karena Sinta sudah saya anggap anak sendiri. Tetapi kalau ibu tidak menerimanya, saya sedikit kecewa karena tidak mampu menjalankan amanah dari Pak Rafi.  Apa pun keputusan ibu, saya akan menerima dengan senang hati.   Senang karena telah mampu menjalankan pesan dari Pak Rafi dan senang bila  Sinta tetap bersama saya,” tutur Dewi dengan santun.
Pernyataan Dewi justru membuat Ibu Susi semakin bingung. Semakin bimbang ia untuk memutuskan. Apakah ia harus menerima Sinta atau membiarkan cucunya ini untuk hidup bersama  suster yang telah merawatnya.
“Sekarang kamu bawa saja anak ini bersamamu, karena aku belum tahu pasti apa yang si Rafi berikan ini kepadaku. Aku ingin tahu lebih dulu isi dari rekaman ini. Kamu tinggalkan saja alamat dan nomer Hp-mu,” ujar Bu Susi masih menjaga wibawa.
Setelah memberikan apa yang Bu Susi minta Dewi segera beranjak dari duduknya. Ia menuntun Sinta keluar dari rumah megah milik Bu Susi. Ia berjalan sebentar dan menghilang bersama mobil angkot mengarah ke sebuah terminal.

Bu Susi terdiam dalam hening. Tatapan matanya kosong memandang kepergian wanita muda cantik dan gadis kecil yang pendiam dan nampak dewasa dibandingkan usianya. Sementara Inah sudah berdiri terpaku di sebelah Bu Susi. “Bagaimana Inah menurut kamu tentang wanita muda dan gadis kecil itu,” tanya Bu Susi.
“Saya kira betul bu apa yang dikatakan wanita muda itu. Sinta Anggraeni adalah anak Pak Rafi tapi saya ragu kalau Bu Dewi adalah seorang suster. Cara bicaranya seperti intelek, ia sangat santun dan sopan sekali kepada ibu”.
“Jadi siapa dia menurut kamu?”
“Jangan-jangan dia istri dari Pak Rafi, bu. Tetapi untuk pastinya barangkali di Hp itu ada rekaman yang lebih jelas untuk ibu,” papar Inah.
Tanpa menjawah ya, Bu Susi masuk ke dalam rumah. Kopi panas  yang tadi pagi sedang dinikmati telah dingin.  Televisi telah dimatikan oleh Inah. Koran dan majalah yang tadi pagi sedang dibaca, telah pula dirapih-rapihkan  oleh Inah. Bu Susi merenung di kursi goyangnya. Ia belum mood untuk mendengarkan Hp yang diberikan wanita muda itu. Justru wanita muda itulah yang terbayang dalam ingatannya.  Bu Susi sejujurnya mengagumi wanita muda itu. Ia cantik, ia sopan, ia ramah. Sekalipun tidak mengenakan baju berbahan mahal tapi cocok dengan pribadinya. Sederhana dan anggun. Apakah betul apa yang dikatakan Inah  …. Mungkinkah ia istrinya Rafi anakku.

Ingatan Bu Susi menerawang ke masa lalu. Ia mengingat-ngingat peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu. Tahun, bulan  dan tanggal berapa, ia lupa.  Sejenak ia menatap kalender yang terpasang di  dinding. Matanya terfokus pada tanggal di hari ini. Tatapannya semakin tajam, tajam dan tajam …. Ia mulai sadar kejadian itu adalah hari ini 10 tahun yang lalu. Bu Susi mulai ingat, tanggal 30 September sepuluh tahun yang lalu Rafi pergi meninggalkan rumah ini.

Hari ini sepuluh tahun yang lalu terjadi perang adu mulut antara ia dan Rafi. Ia menginginkan Rafi untuk melanjutkan S2 di Belanda.  Dari sana ia bisa melanjutkan jejak Ayahnya sebagai seorang pengacara handal.  Tapi Rafi tidak mau. Rafi beranggapan sudah cukup, selama ini ia menuruti kemauan ibunya.  Masuk Fakultas Hukum sebagaimana saran ibunya. Usai lulus ibunya masih pula mendorongnya untuk melanjutkan S2 dibidang hukum. Bukan suatu yang buruk memang tapi tidak sreg di hati sang anak. Rafi lebih suka di dunia seni peran. Rafi sering terlibat dalam pementasan drama di kampusnya. Di dunia itu Rafi mendapatkan kepuasaan.

Puncak pertengkaran ibu dan anak terjadi di hari ini sepuluh tahun lalu.  Rafi dengan tegas menolak untuk menuruti kemauan ibunya. Hingga akhirnya ibunya mengultimatum, ‘Jika kamu tidak mau menuruti saran ibu, silahkan kamu tinggalkan rumah ini”. Mendengar itu telinga Rafi bagai tersambar suara harilintar.
“Ibu, bila ibu memberi saran akan Rafi pertimbangkan. Saran bukan berarti harus selalu dituruti, kan …?”
“Alah pintar ngomong kamu sekarang. Kamu mau turut perintah ibu atau tidak, kalau tidak silahkan …?”
“Maaf untuk kali ini saya tidak bisa menuruti kemauan Ibu. Selama ini Rafi sudah cukup menjalankan perintah ibu.”
“Lalu?”
“Rafi dengan terpaksa akan mengambil pilihan kedua”.
“Meninggalkan ibu, maksudmu?”
“Ya sesuai dengan pilihan yang ibu berikan”.

Hari ini sepuluh tahun lalu, Rafi pergi meninggalkan rumah ini. Dan kini sepuluh tahun telah berlalu Rafi telah memiliki seorang anak,tapi benarkah itu anaknya? Dan benarkah wanita muda itu istri Rafi?
Bu Susi teringat Hp yang diberikan wanita muda itu. Ia segera memasang baterainya dan menghidupkan Hp itu. Tapi kenapa Hp-nya di password? Bu Susi mencoba beberapa kali password standar tapi tidak bisa. Ia ingat, untung tadi ia minta alamat dan no Hp wanita itu.  Catatan alamat dan no-Hp wanita itu masih tergeletak di atas meja. Bu Susi segera menelepon wanita muda itu. Dan diperoleh jawaban kode passwordnya “300911”.  Bu Susi sedikit kaget, itu adalah tanggal hari ini 30 September 2011. Bu Susi langsung membuka “video player” dari Hp itu.  Isinya terdapat 3 file video. Bu Susi membukanya satu per satu.
File pertama berisi pernikahan Rafi. Bu Susi yakin itu benar adalah anaknya, tetapi mempelai wanitanya kurang jelas, apakah wanita muda yang tadi pagi ke rumah atau bukan? Durasinya hanya sekitar 5 menit.
File kedua berisi persalinan anak. Saat-saat melahirkan telah terekam dengan baik oleh Rafi. Bu Susi baru yakin ibu yang melahirkan cucunya ternyata bukan wanita yang tadi pagi hadir ke rumah setelah melihat wajah dari ibu yang melahirkan. Tetapi dimana ia sekarang? Bu Susi masih bertanya-tanya.
File ketiga berisi rekaman anaknya yang sedang bermain-main dengan ibunya. Tetapi bukan dengan ibu yang melahirkan tadi, melainkan dengan wanita muda yang datang tadi pagi.
Bu Susi mulai bisa menangkap apa pesan yang ingin disampaikan Rafi. Tetapi kemana Rafinya?, Kenapa bukan ia sendiri yang mengantarkan semua ini?
Telepon Bu Susi berdering, diangkat olehnya.  Terdengar oleh Bu Susi suara yang sudah mulai akrab ditelinganya, Dewi. Wanita muda yang merawat cucunya. Dewi memberi tahu bahwa pesan Rafi selanjutnya ada di file Media Player bukan Video Player. Dan Hp-nya langsung mati.
Bu Susi segera membuka file itu, terdengarlah suara Rafi:
Assalammualaikum ibu. Maafkan anakmu ini ibu. Anakmu ini sudah 10 tahun ltidak bersilaturahmi dengan ibu. Kemarahan seorang ibu tetaplah akan menjadi seorang ibu. Ibu tetaplah ibu untuk selama-lamanya dunia akherat. Sebelum anakmu ini menutup mata anakmu ini ingin memberi pesan terakhirnya kepada ibu lewat rekaman ini.
Saat-saat ini mungkin malaikat maut segera menjemput anakmu ini ibu. Anakmu ini sudah terserang penyakit yang sangat koplikasi. Maafkan anakmu ini ibu karena tidak sanggup membiayai pengobatannya sendiri. Tetapi ibu tidak perlu merisaukan anakmu yang nakal ini, karena semuanya akan segera berakhir. Syukur Alhamdullilah, anakmu ini telah berhasil memberi  ibu seorang cucu. Rencana anakmu ini adalah ingin membesarkannya sendiri tapi sayang umur anakmu ini rasanya sudah tak mampu untuk bertahan, sehingga sebelum ajalku tiba anakmu ini hanya mampu merawat anaknya sampai usia 4 tahun saja.
Selanjutnya anak dari anakmu ini akan dirawat oleh Suster Dewi yang telah begitu sabar membantu kelahiran istri dari anak Ibu ini. Namun anakmu ini berpesan kepada suster Dewi untuk menyampaikan ini semua pada ibu pada tanggal 30 September 2011 sebagaimana anakmu yang nakal ini pergi meninggalkan ibu di tanggal itu. Selamat jalan ibu, kondisi kesehatanku sudah tidak memungkinkan lagi untuk bertahan lebih lama. Ampuni anakmu ini ibu. Mohon rawat cucu Ibu yang bernama Sinta Anggraeni.  Suster Dewi telah banyak membantu anakmu dan cucumu, tapi sayang anakmu ini tidak sempat menikahi suster Dewi sungguhpun ia sangat dan sangat mencintai aku. Sedangkan mamanya Sinta telah meninggal saat melahirkannya.

Bu Susi ingin berkata-kata tetapi kepada siapa. Bu Susi ingin menangis tetapi tidak bisa. Akhirnya ia memanggil Inah. Bu Susi mengajak Inah untuk menemui wanita muda yang tadi pagi berkunjung ke rumah. Sekaligus Bu Susi menjelaskan pada Inah bahwa ia akan menjemput cucunya yang bernama Sinta Anggraeni. Mobil BMW terbarunya dengan sang supir telah siap  meluncur untuk menjemput cucu dan Suster Dewi. Senja telah tiba, langit berwarna kemerahan akan menjadi saksi akan telusan Bu Susi menjemput cucunya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar