Senin, 12 Desember 2011

Artikel: Mudik Lebaran



Oleh: Yusnadi

Hari Raya Idul Fitri untuk bangsa Indonesia identik dengan mudik. Mudik lebaran rasanya dari tahun ke tahun tetap merupakan peristiwa sosial yang terspektakuler. Dalam kondisi apa pun, bagaimana pun, seburuk apa pun, karena ini mengandung budaya dan tradisi yang mengakar, sehingga tekad “aku harus mudik” pun meluncur dari hatinya.
Peristiwa hari kemenangan bagi umat Islam ini merupakan peristiwa sosial superkolosal yang melibatkan rakyat Indonesia dari Sabang sampai Marauke. Dari segala penjuru, dari berbagai pulau, dari berbagai kota secara berbondong-bondong kembali ke kampung halamannya. Tak terkecuali dari kawasan Pond Site CP Bahari ini, iya kan?
Layaknya sebuah pertunjukan, peristiwa mudik lebaran ini cukup mengurus isi kantong maupun saldo kita di Bank. Lonjakan harga karcis angkutan, antrian panjang di loket karcis, kemacetan, kecelakaan, berdesakan dalam kereta, bus, kapal, oleh-oleh untuk sanak keluarga, THR, kecemasan pada  rumah yang ditinggalkan dan sebagainya. Bahkan bukan hanya biaya tetapi juga waktu dan tenaga memaksa kita untuk terbawa arus di dalamnya.
Dengan segala kenaikkan harga di saat menjelang lebaran, seringkali pula dijadikan arena kesempatan bagi pelaku usaha. Muncul naluri-naluri kapitalistiknya, kemaruk dan mereguk laba sebanyak-banyaknya.
Begitulah peristiwa demi peristiwa dalam kisah mudik lebaran, kita tidak bisa menolaknya. Satu hal yang mungkin  perlu diingatkan, bahwa lebaran adalah peristiwa religius. Mudik, tujuannya adalah silaturahmi, maaf-memaafkan dan suka cita atas segala kehidupan yang kita jalani selama setahun. Di dalamnya pasti ada keriangan, ada kesedihan, optimistik dan pesimistik. Semua terjadi, dan terjadi sebagai suatu keharusan bagi masyarakat kita di Indonesia.
Ada lebaran ada mudik. Lebaran tanpa mudik dipastikan menjadi derita tersendiri. Suara takbir “Allah huakbar, Allah huakbar, Allahuakbar laiilahaillahhuwallah huakbar Allahuakbar walilailham” berkumandang, suara beduk terdengar bertalu-talu. Seiring dengan itu bercucuranlah air mata Mbak Rini, Teteh Yuli dan Mpok Ati. Tak dapat mudik karena tak ada biaya, tak dapat mudik karena tugas, tak dapat mudik karena sakit. Maka bersyukurlah bagi Anda yang dapat merayakan lebaran di kampung halaman dan dapat berkumpul dengan sanak saudara.
Risalah sosiologi merumuskan bahwa manusia Indonesia umumnya sebagai manusia cummuter culture (pejalan budaya), manusia yang bergerak dari kampung ke kota tanpa melepaskan ikatan dengan kampungnya. Ini tak sekedar risalah intelektual yang  abstrak, tetapi fakta yang dapat disaksikan dengan mata telanjang. Kongkrit.
Contoh paling nyata adalah para pembantu rumah tangga dan buruh pabrik di kota yang terpasok dari kampung. Mereka selalu pulang kampung pada saat tertentu atau mudik setiap lebaran. Dan itu tak terkecuali bagi kita  yang ada di sini, termasuk di dalamnya.
Mudik tak pandang bulu, tak mengenal batasan kelas sosial. Presiden, Jenderal, Politikus, Artis, Nelayan, pedagang semua mudik. Para “jalan budaya” itu bagaikan para Malin Kundang yang tak pernah durhaka, mereka rindu mencium “tangan” kampung halaman setiap lebaran.
Mereka menyelenggarakan ritus sosial-spiritual dengan menemui tempat muasal, berziarah sejenak, kemudian berbondong kembali ke kota untuk menjadi para  homoeconomicus (pencari nafkah kehidupan) yang tak kenal lelah memerah peluh demi memenuhi kebutuhannya. Ada yang menggerakkan lap pel di rumah-rumah mewah, menjadi pekerja di pabrik-pabrik, menjalani aktifitas rutin di kantor, shooting bagi para aktor/aktris, konsolidasi bagi  partai-partai dan melaut kembali bagi para nelayan.  Lalu tahun depan berbondong-bondong kembali ke kampung halaman, begitu seterusnya.
Kisah lebaran dan mudik ini terus berulang setiap tahun. Tak pernah kapok. Tak perduli harga tiket naik, tak perduli kereta api dijejal, tak perduli kemacetan terjadi sepanjang jalan. Yang penting mudik. Menjejakkan kaki di tanah kampung halaman untuk bertemu sanak keluarga, memindahkan uang dari kota ke kampung untuk modal atau mengembangkan usaha, mengajak para tetangga yang nganggur untuk bekerja di kota atau “sekedar pamer  tampang kesuksesan setelah sekian waktu meninggalkan kampung halaman”. (Semoga kita tidak termasuk di dalam kalimat  terakhir yang diberi tanda petik). Itulah romantika mudik lebaran. Selamat Hari Raya Idul Fitri, 1429 hijriah, maaf lahir bahtin.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar