Oleh: Muhammad An-Nawawi
Sudah menjadi kewajiban seorang
Muslim memiliki dua kesadaran, kesadaran sebagai hamba Allah Ta’ala dan
kesadaran sebagai umat Muhammad Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam ,
Jika kesadaran itu hilang dari jiwa seorang Mukmin maka tindakan dan amalan
akan ngawur dan sembrono yang mengakibatkan Allah Ta’ala tidak akan memberi
ganjaran apapun yang didapat hanyalah siksa.
Kesadaran pertama, kesadaran kita
sebagai hamba Allah Ta’ala yang kita tampakkan dalam setiap aktifitas
sehari-hari dalam bahasa agamanya disebut (إِظْهَاُر
الْعُبُوْدِيَّةِ) Sebagai
misal menampakkan kehambaan kepada Allah. Contohnya jika kita mau makan
meskipun seolah-olah padi kita tanam disawah kita sendiri, beras kita masak
sendiri maka ketika mau makan disunnahkan berdo’a:
اَللَّهُمَّ بَاِركْ لَنَا فِيْهِ وَأَطْعِمْنَا
مِنْهُ. (صحيح الترمذي، 3/158).
“yaa
Allah berilah kami keberkahan darinya dan berilah kami makan darinya”
Berarti Allah Ta’ala yang memberi
rizki, bukan sawah atau lainnya. Begitu pula kita punya mobil atau kendaraan
lainnya, meskipun kita membeli kendaraan dengan usaha sendiri, dengan uang
sendiri, namun ketika mau mengendarai disunnahkan berdo’a:
بِسْمِ اللهِ الْحَمْدُ لِلَّهِ سُبْحَانَ اللهِ الَّذِيْ سَخَّرَ لَنَا
هَذَا وَمَا كُنَّا لَهُ مُقْرِنِيْنَ وَأَنَّا إِلَى رَبِّنَا لَمُنْقَلِبُوْنَ.
(صحيح الترمذي، 3/156).
Ikhwan fillah
rahimakumullah
Itulah contoh bahwa setiap
saat kita harus nyatakan kehambaan kepada Allah Ta’ala, jika pernyataan
itu hilang, maka alamat iman telah rusak di muka bumi ini dan akan hilang
kemudian muncul kesombongan dan keangkuhan, hal ini telah terjadi pada zaman
Nabi Musa p yang ketika itu
pengusanya lalim dan sombong sehingga lupa akan status sebagai hamba,
bahkan si raja itu begitu sangat sombongnya sampai ia memproklamirkan dirinya
sebagai tuhan, dia menyuruh kepada rakyatnya agar menyembah kepadanya. Dialah
raja Fir’aun.
Kenyataan di atas sudah tergambar
pada zaman sekarang, begitu banyak orang-orang modern yang seharusnya sebagai
hamba Allah Ta’ala namun banyak diantara mereka yang mengalihkan penghambaan
kepada harta, wanita dan dunia. Setiap hari dalam benak mereka hanya dijejali
dengan berbagai macam persoalan dunia, mencari kenikmatan dan kepuasan dunia
saja tanpa memperhatikan kepuasan akhirat padahal kenikmatan akhirat lebih baik
dari kenikmatan dunia, bahkan lebih kekal abadi.
Ihwan Fillah rahimakumullah
Allah Ta’ala menciptakan manusia
bukan untuk menumpuk harta benda tapi Allah Ta’ala menciptakan manusia dan jin
hanya untuk menyembah kepadaNya.
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan
manusia melainkan hanya untuk beribadah kepadaKu.” (Adz-Dzariyat: 56).
Makna penghambaan kepada Allah
Ta’ala adalah mengesakannya dalam beribadah dan mengkhusus-kan kepadaNya dalam
berdo’a, tentang hal ini Syekh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin dalam bukunya
Syarah Tsalasah Usul, memaparkan persoalan penting yang harus diketahui oleh
kaum Muslimin:
اْلأُوْلَى اَلْعِلْمُ
وَهُوَ مَعْرِفَةُ اللهِ، مَعْرِفَةُ نَبِيِّهِ وَمَعْرِفَةُ دِيْنِهِ
اْلإِسْلاَمِ بِاْلأَدِلَّةِ. الثَّانِيَةُ اَلْعَمَلُ بِهِ. الثَّالِثَةُ
اَلدَّعْوَةُ إِلَيْهِ.
“Pertama
adalah ilmu, yaitu mengenal Allah, mengenal Rasul dan Dienul Islam dengan
dalil dalilnya kedua mengamalkannya ketiga mendakwakannya.”
Ikhwan fillah rahimakumullah.
Syaikh Muhammad At-Tamimi dalam
kitab Tauhid, membe-rikan penjelasan bahwa ayat di atas, menunjukkan
keistimewaan Tauhid dan keuntungan yang diperoleh di dalam kehidupan dunia dan
akhirat. Dan menunjukkan pula syirik adalah perbuatan dzalim yang dapat
membatalkan iman jika syirik itu besar, atau mengurangi iman jika syirik asghar
(syirik kecil).
Akibat buruk orang yang
mencampuradukan keimanan dengan syirik disebutkan Allah Ta’ala:
“Sesungguhnya Allah tidak mengampuni
dosa syirik tetapi Dia mengampuni segala dosa selain syirik itu bagi siapa yang
dikehendaki.”
مَنْ مَاتَ وَهُوَ
يَدْعُوْ مِنْ دُوْنِ اللهِ نِدًّا دَخَلَ النَّارَ. (البخاري عن ابن مسعود).
“Barangsiapa
yang mati dalam keadaan menyembah selain Allah niscaya masuk kedalam
Neraka.”
مَنْ لَقِيَ اللهَ لاَ
يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ لَقِيَ يُشْرِكُ بِهِ شَيْئًا
دَخَلَ النَّارَ. (مسلم عن جابر).
“Barangsiapa
menemui Allah Ta’ala (mati) dalam keadaan tidak berbuat syirik sedikitpun pasti
masuk Surga, tetapi barangsiapa menemuinya (mati) dalam keadaan berbuat syirik
kepadaNya pasti masuk Neraka.”
Ihwan fillah rahimakumullah.
Demikianlah seharusnya, kaum
Muslimin selalu sadar atas statusnya yaitu status kehambaan terhadap Allah
Ta’ala. Dan cara menghamba harus sesuai dengan manhaj yang shohih tanpa terbaur
syubhat dan kesyirikan. Jadi inti penghambaan adalah beribadah kepada Allah
Ta’ala dan tidak melakukan syirik dengan sesuatu apapun.
Kesadaran kedua sebagai ummat
Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam
Kesadaran sebagai umat rasul, adalah
menyadari bahwa amalan-amalan kita akan diterima oleh Allah Ta’ala dengan
syarat sesuai sunnah Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam . Syaikh
Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin menjelaskan konsekuensi mengenal Rasul
adalah menerima segala perintahnya bahwa mempercayai apa yang diberitakannya,
mematuhi perintahnya, menjahui segala larangn-nya, menetapkan perkara
dengan syariat dan ridha dengan putusannya.
Pastilah dari kalangan ahli sunnah
waljama’ah sepakat untuk mengimani dan menjalankan apa-apa yang diperintahnya,
menjauhi larangannya. Tidak diterima ibadah seseorang tanpa mengikuti sunnah
Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam sebagaimana hadits berikut:
مَنْ عَمِلَ عَمَلاً
لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ. (مسلم).
“Barangsiapa
yang mengerjakan suatu amalan dalam agama yang tidak ada perintah dari kami
maka ia tertolak.” (HR. Muslim).
مَنْ أَحْدَثَ فِي
أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ. (البخاري ومسلم).
“Barangsiapa
yang mengada-ada dalam perkara agama kami dan tidak ada perintah dari kami
maka ia tertolak.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Melihat hadits di atas, setiap kaum
Muslimin dalam aktifitasnya harus merujuk kepada apa yang dibawa oleh Nabi
Muhammad Shallallaahu alaihi wa Sallam , baik ucapan, perbuatan maupun taqrir
atau ketetapan.
Ihwan fillah Rahimakumullah.
Ingatlah banyak dari kaum Muslimin,
yang menyalahi man-haj Rasulullah, dengan mengatasnamakan Islam. Dan kebanyakan
mereka tidak mengetahui bahwa perbuatan semacam itu menjadi tertolak karena
tidak sesuai dengan sunnah Nabi. Misalnya mereka menyalahi manhaj dakwah
Salafus Shalih, Contohnya berdakwah dengan musik, nada dan dakwa, sandiwara,
fragmen, cerita-cerita, wayang dan lain-lain.
Begitu juga dengan Assyaikh Abdul
Salam bin Barjas bin Naser Ali Abdul Karim dalam bukunya Hujajul Qowiyah
menukil perkataan Al-Ajurri dalam kitab As-Syari’ah bahwa Ali Ra dan Ibnu
Masu’d berkata:
لاَ يَنْفَعُ قَوْلٌ
إِلاَّ بِعَمَلٍ وَلاَ قَوْلٌ وَعَمَلٌ إِلاَّ بِنِيَّةٍ وَلاَ نِيَّةٌ إِلاَّ
بِمُوَافَقَةِ السُّنَّةِ.
“Tidak
bermanfaat suatu perkataan kecuali dengan perbuatan dan tidak pula perkataan
dan perbuatan kecuali dengan niat dan niat pun tidak bermanfaat kecuali sesuai
dengan sunnah.”
بَارَكَ اللهُ لِيْ
وَلَكُمْ فِي الْقُرْآنِ الْعَظِيْمِ، وَنَفَعَنِيْ وَإِيَّاكُمْ بِمَا فِيْهِ
مِنَ اْلآيَاتِ وَالذِّكْرِ الْحَكِيْمِ. أَقُوْلُ قَوْلِيْ هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ
اللهَ الْعَظِيْمَ لِيْ وَلَكُمْ.
Khutbah Kedua
الْحَمْدُ لِلَّهِ
الَّذِيْ أَرْسَلَ رَسُوْلَهُ بِالْهُدَى وَدِيْنِ الْحَقِّ لِيُظْهِرَهُ عَلَى
الدِّيْنِ كُلِّهِ وَلَوْ كَرِهَ الْكَافِرُوْنَ. أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ
إِلاَّ اللهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ.
فَإِنَّ أَصْدَقَ
الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ
صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَشَّرَ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلَّ
مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلَّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ.
Dan sebaik-baik perkataan adalah
Kitabullah Yang Maha Agung dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad
Shallallaahu alaihi wa Sallam , sejelek-jelek urusan adalah perkara yang baru
dan setiap perkara yang baru (dalam agama) adalah bid’ah dan setiap bid’ah
adalah sesat,setiap kesesatan adalah di Neraka. (HR. An-Nasa’i).
Ihwan Fillah rahimakumullah.
Demikianlah dua kesadaran itu harus
di ingat setiap saat karena merupakan sumber petunjuk dalam kehidupan. Dengan
menyadari dua kesadaran yaitu menjalankan syariat sesuai manhaj ahlul hadits
tanpa tercampur bid’ah dan kesyirikan. Dengan demikian mengikuti manhaj
Rasulullah Shallallaahu alaihi wasallam dan manhaj para sahabat
sesudahnya yaitu Al-Qur‘an yang diturunkan Allah Ta’ala kepada Rasulnya, yang
beliau jelaskan kepada para sahabatnya dalam hadits-hadits shahih
Demikianlah dua kesadaran itu harus di ingat setiap saat, yaitu kesadaran
menegakan kalimah tauhid berdasarkan manhaj ahlul hadits dan memerintahkan umat
Islam agar berpegang teguh kepada keduanya. Sebagai akhir kata kami tutup
dengan hadits:
تَرَكْتُ فِيْكُمْ
شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا بَعْدَهُمَا، كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتِيْ وَلَنْ
يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَى الْحَوْضَ.
“Aku
tinggalkan padamu dua perkara yang kalian tidak akan tersesat apabila berpegang
teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah dan sunnahku. Tidak akan bercerai berai
sehingga keduanya mengantarkanku ke telaga (diSurga).” (Dishahikan oleh
al-albani dalam kitab Shahihul jami’)
Wallahu A’lamu bis shawab
Akhiru
da’wana Walhamdulillahi Rabbil Alamin
Tidak ada komentar:
Posting Komentar